Adakah Kesempatan Kedua?
Mata Aceng terpaku menatap layar ponsel yang berpendar biru di tangannya, sementara sudut kanan bibirnya ditarik cukup dalam.
Suara hujan deras dan petir di luar yang membelah langit tengah malam, serta angin yang menampar-nampar daun jendela, sama sekali tidak membuat Aceng lantas ingin menelusup di bawah selimut. Lelaki itu masih setia duduk di depan meja komputernya, dengan jendela dibiarkan terbuka.
"Cih, penipu," lirihnya.
Satu berita yang tengah viral tentang seorang pria baik hati benar-benar membuatnya mu ak. Tidak hanya mu ak, tetapi juga ingin muntah seperti melihat barang na jis.
"Pria baik hati katanya? Pria berhati malaikat katanya? Penolong orang mis kin? Penyelamat anak ya tim? Bull shit!" geramnya lagi. "Mereka hanya tidak tahu dia siapa."
Geraham milik Aceng gemeletuk dengan dada yang berkobar api. Masih diingatnya siapa Daud, si orang yang tengah viral kebaikannya itu; lelaki yang sering membuatnya malu di sekolah, yang sering mengerjainya, sering menghaj arnya, sampai membuatnya … ya ampun, nyaris ingin bu nuh diri.
Masih Aceng ingat di lubuk hatinya yang terdalam saat SMA. Saat Daud, di bekas pabrik kayu yang hampir roboh, menyuruh Aceng men ji la ti sepatunya seper ti anj ing.
Entah apa salah Aceng, entah apa masalah Daud, sampai begitu senang mengerjai Aceng. Saat bertemu, Daud seperti memiliki tangan gatal yang tidak akan sembuh sampai membuat Aceng ba bak belur. Bahkan, pernah juga meluda hi wajah Aceng dan memaksa Aceng meminum air ken cingnya.
Aceng mengusap sudut matanya yang basah oleh amarah dan air mata. "Dia memang ke pa rat," lirihnya, dengan hati tersayat-sayat oleh kenangan.
Ya, dulu Aceng memang lemah. Namun, seiring berjalannya waktu, Aceng sadar, dia harus berani dan menjadi tangguh, demi melindungi diri dari manusia seperti Daud; se tan berwajah manusia.
Wajah Aceng perlahan menjadi kaku dan sorot matanya begitu sarkastis. "Mari kita bertukar posisi, Daud," lirihnya.
**
Jam tiga sore.
Di dapur rumahnya, Daud sedang sibuk membantu orang-orang membuat ribuan nasi box yang akan dibaginya di masjid-masjid menjelang buka puasa.
Sebagian sudah dia tata dengan rapi di mobil box yang siap membawa makanan-makanan itu kepada tujuan.
Daud memutar pinggangnya ke kiri dan kanan, merasa pegal karena sejak pagi belum istirahat sama sekali. Sambil menunggu nasi box sisanya siap, lelaki itu duduk di kursi teras depan.
Sambil mengucap hamdalah dalam hati, lelaki itu melepas peci dan menaruhnya di atas meja yang bersisian dengan kursi yang dia duduki.
Daud merebahkan badan ke punggung kursi, memejamkan mata, dan mengetuk-ketukkan jemari bercincin tasbih digital miliknya di lengan kursi.
Tidak ada yang tahu rahasia Tuhan, di mana hidup bisa terjungkal seketika. Langit menjadi bumi dan bumi menjadi langit. Seperti hidupnya.
Di pabrik genteng, malam hari dua puluh tahun silam. Di tengah mab uk berat, tanpa sengaja Daud mem bu nuh salah seorang temannya. Ya, malam nahas itu … tidak pernah terlupakan, meski di dalam tidurnya.
Daud memejamkan mata lebih rapat saat mengingat bagaimana orang tuanya mengusirnya, memenjarakannya, dan bagaimana dia tertolak di masyarakat. Bagaimana dia menghadapi kehidupan di dalam pen jara yang … tak pernah dia bayangkan.
Pengalaman memang guru terbaik, mampu menaklukan murid yang paling bru tal sekali pun.
Setelah itu semua, Daud tidak hanya merangkak untuk berusaha dipercaya menjadi orang baik, tetapi juga merayap dan nyaris tidak pernah bisa menelan ludah dengan nikmat.
Dua tahun ini, hidupnya menjadi lebih tenang setelah menemukan jalan yang lebih lurus. Daud merasa diterima, saat dia mau bersedekah dan mengabdikan diri kepada masyarakat tanpa pamrih.
Tanah warisan orang tua sebagian Daud wakafkan kepada pesantren, padi-padi di sawah yang berjumlah hektaran seringkali dia bagi dengan cuma-cuma untuk panti-panti asuhan. Itu karena Daud pernah merasakan ma ti tanpa dikubur, pernah merasakan neraka tanpa diba kar. Seleranya kepada dunia hampir tidak dapat tumbuh kembali. Uang, kesenangan, semuanya semu.
Ternyata, ketenangan hidup sangat berharga daripada gunungan berlian.
"Pak Daud," panggil seorang lelaki yang muncul dari dalam rumah.
Daud membuka matanya. "Ada apa?"
Lelaki itu menelan ludah, kemudian mendekat ke arah Daud dan berlutut di hadapannya. Dengan gemetaran, lelaki itu menyerahkan ponsel yang tengah menyala. "Ini … tentang Bapak."
Daud meraih ponsel dari tangan lelaki itu dengan dahi mengernyit, lalu lehernya menegang saat membaca ribuan chat di balon messenger, juga di kolom komentar akun media sosialnya. Pesan-pesan itu ditulis oleh orang-orang yang bahkan tidak semua dikenalnya.
[An jing berwajah malaikat.]
**
Aceng terbahak-bahak puas di kamarnya, setelah itu menyesap rokok yang terselip di jemarinya sambil menyipitkan mata.
Sekali lagi, dia memeriksa akun-akun milik Daud. Sesuai harapan, teman lama itu diserang oleh ribuan haters.
Sebenarnya, semua itu dia yang memulai, menggunakan puluhan akun kloningan yang sengaja dia buat untuk menyerang Daud. Dimulai dari menceritakan ke ja hatan Daud di masa lalu, sampai apa yang pernah lelaki itu buat kepadanya.
Tidak hanya itu, gatal, Aceng juga menambahi sedikit garam agar lebih gurih. Dia tebarkan berita bo hong, tentang pe mer kosaan seorang gadis oleh Daud.
"Rasakan," lirih Aceng puas.
**
Rumah itu diba kar, nama lelaki itu dilu dahi, harga diri lelaki itu terin jak sekali lagi. Permintaan maaf yang memohon-mohon tidak dapat menembus nurani, malah berakhir dengan ten dangan di sana-sini.
Daud, jatuh sekali lagi. Namun, kali ini dia tidak hanya jatuh, melainkan mendekati kema tian yang sesungguhnya.
Setelah hampir tiga bulan menerima sera ngan dan ca ci ma ki dari orang yang bahkan tidak dia kenal semua, Daud jatuh ambruk dan berdiam diri dalam keadaan koma di salah satu rumah sakit.
Lutut Aceng gemetar hebat menyaksikan kekacauan yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Bibir pucat lelaki itu menganga sempurna saat melihat rumah mewah yang dulu milik Daud telah ha ngus dan ambruk.
Di media sosial, tanpa keinginannya, entah siapa, mereka semua menambah kabar buruk seorang Daud semakin menjadi, dengan ribuan komentar dan asumsi yang menyudutkan lelaki itu memiliki kelainan ji wa dan juga seorang psi ko pat.
Itu bukan keinginan Aceng. Dia hanya ingin Daud jatuh. Seperti dirinya. Itu saja. Namun ….
Sambil terseok Aceng menjauh. Di halaman rumah samping kediaman Daud yang telah hangus, seorang perempuan tengah menangis tersedu-sedu, dikelilingi oleh puluhan warga.
"Adikku dulu memang ja hat, memang na kal, tetapi demi Allah, aku melihat bagaimana dia bersusah payah untuk menjadi orang baik. Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia berusaha menebus semua kesalahannya. Demi Allah--"
Aceng tersengal. Kulitnya merinding mendengar kalimat itu. Tidak, tidak. Aceng tidak berani lagi menoleh ke belakang.
Akibat ulah Aceng tidak terduga. Semua menjadi lebih parah dari apa yang dia inginkan.
Aceng melangkah menuju mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi.
"Tuhan, apa yang harus kulakukan," lirihnya gemetar. Keringat dingin membasahi hampir sekujur tubuhnya. Saking gemetarnya, jari-jemari miliknya seperti tidak memiliki tenaga untuk menghidupkan mesin mobil.
Aceng menelan ludah, memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan. Rasanya dia ingin mengaku. Namun … Aceng membayangkan apa yang akan dia terima jika mengakui semua perbuatannya.
Bagai simalakama akibat dari ucapan yang terlahir dari jemarinya. Aceng menangis, menyesali den dam yang pernah dia balaskan.
Akibat ucapan ini, mungkin akan dia telan sendiri sampai ma ti. Ucapan yang keluar tanpa terpikir oleh kapala, apalagi dirasa oleh hati.
Adakah kesempatan kedua untuk kalimat yang telah mengudara, agar bisa dia telan lagi dan membuat semuanya seperti sedia kala? Adakah?
**
By. Adindra Neizha
Bumi, 5 Maret 2022
Post a Comment
Top comments
Newest first