Kesalahan
Indira memasuki bangunan model lama itu dengan ragu. Netranya memindai suasana yang tampak sepi. Ingatannya melayang pada kejadian lima tahun silam. Pelupuk mata menjadi buram, entah apa yang dipikirkannya saat itu, sehingga kini hanya sesal yang melingkupi hati.
Namun, setidaknya dia ingin mencoba menebus kesalahan lima tahun silam.
*
Malam masih setia ditemani gerimis, serupa jarum yang menusuk kulit, jatuhnya air begitu menyakitkan bagi Indira. Indira baru saja kabur dari klinik, setelah melahirkan bayi yang tak diinginkannya.
Bayi itu begitu tampan, serupa ayahnya, yang mengambil kesucian Indira di tengah gelegar petir dan hujan badai. Indira menjerit dan menahan perih di sekujur tubuhnya, merasa nista dan tak berdaya.
Lelaki tampan tetapi bej*t itu, meninggalkannya setelah puas menikmati kehormatannya sebagai seorang wanita. Rasa kagum dan memuja pada lelaki tampan itu, musnah dalam satu sentakan pemaksaan kehendak.
Indira hancur. Luluh lantak.
Dan membenci diri sendiri, karena lengah pada rayuan tak bermakna.
Noda ternyata belum usai, satu bulan menutup diri dari dunia, menyesali semua tanpa bisa membela diri. Lelaki itu selayaknya ditelan bumi, hilang bagai asap tak berbekas.
Pada siapa meminta pertanggungjawaban, setelah semua kepercayaan pun ikut hilang.
Indira, menyadari ada yang berkembang dari kejadian hitam itu. Depresi, dan ingin mengakhiri hidup makin menjadi.
Morning sickness, memancing pertanyaan demi pertanyaan yang tak sanggup diberikannya jawaban. Hanya bisu, dan kelu. Tatapan kosong, serta upaya menghabisi diri, demi terbebas dari nista dan noda yang kian subur tumbuh dalam dirinya.
Keluarga, telah merelakan hidup putri mereka satu-satunya hancur dalam sekelip mata, meraih tubuh lemah dalam sisa angkara, mencoba menyelamatkan apa yang tersisa.
Sumpah serapah, kutukan dan harapan kematian, terus digumamkan oleh Indira di ambang kewarasannya pada lelaki tampan pelaku kejadian.
Sembilan bulan berlalu sejak malam itu, bayi lahir dalam keadaan sehat, tampan dan rupawan.
Indira, melarikan diri bersama bayinya, menghilang ditelan malam, meninggalkan harapan yang dirajut keluarganya.
*
Gerimis masih mewarnai malam, sementara Indira tertatih berjalan tanpa tujuan. Dia hanya ingin melenyapkan noda kehidupannya, meski keluarganya telah menerima kenyataan, tetapi tidak bagi Indira.
Sebuah bangunan dengan pagar setengah badan, didorong pelan oleh Indira yang terseok menggendong bayi dalam pelukan.
"Panti Asuhan Kasih Ibu"
Itu yang terbaca oleh Indira, sekali lagi menatap pada bayi yang terlelap dalam dekapan, Indira tetap pada keputusan, membuang bayi yang telah dilahirkannya dengan susah payah.
Wajah mungilnya, Indira tak sanggup menatap lebih lama, selalu mengingatkannya lada malam hitam dalam kehidupannya.
Segera diletakkannya bayi itu di kursi teras, dan gegas berlalu dari bangunan berarsitektur model lama.
Indira, memukul pagar setengah badan dengan batu yang ada di sekitarnya, seolah memanggil sang penghuni untuk keluar dari peraduan. Dan, dia berhasil.
Seorang wanita dengan daster lengan panjang serta jilbab menutup kepala, terkejut mendapati bayi yang kedinginan. Indira cepat berlalu, menghilang dalam hitungan detik, berlari terus tanpa tujuan.
Hingga kemudian, Indira mendengar deru air tak jauh dari tempatnya berlari. Berbelok mendatangi deru air, Indira pun sampai di jembatan, sungai di bawahnya sedang menggila arusnya.
Adzan bersahutan di kejauhan, pertanda subuh telah menjelang. Bersamaan dengan Indira yang tersenyum menyambut kematian. Nodanya telah dibuang, hidupnya pun tak lagi berharga, keluarganya akan melupakan semuanya.
Selamanya.
Indira melempar tubuhnya ke air yang menggila di bawah sana. Hilang sudah raga tanpa jeritan, tergulung arus sungai.
*
Panas sang surya belum mencapai puncaknya, saat seorang pemulung mengais sampah, dekat bantaran sungai yang landai. Asyik menghunjam dengan sebuah tongkat, alat bantu mengais botol atau kardus, atau apa pun yang bisa ditukar rupiah.
Wajahnya yang keriput, bergetar melihat sebuah tubuh, teronggok di tepi sungai. Pekiknya membuat hening menjadi hiruk pikuk, saat yang dikiranya mayat ternyata masih bernyawa, meski pun penuh luka.
*
Indira terbangun, mengerang kecil merasai seluruh tubuhnya terasa sakit. Mengerjap mata perlahan, terbangun dalam ruangan putih seluruhnya, berbau khas obat.
"Rumah Sakit," gumamnya.
Indira menangis, kecewa bahkan maut pun enggan menjemputnya setelah semua lara yang diderita.
Waktu berlalu, perlahan polisi bisa mendapatkan keterangan, dari Indira tentang asal usulnya. Tak butuh waktu lama, orangtuanya muncul dengan tangis tak berkesudahan. Mengucap banyak kata penguatan, dan perlindungan, mencetus harapan bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu mereka bertanya dimana bayinya. Indira, tiba-tiba bisu.
Psikiater membantu pemulihan emosional dan kesehatan mental Indira yang jelas kacau balau. Butuh waktu lama hingga dua tahun untuk mengembalikan kesehatan mental Indira, dan membuatnya bisa menerima kenyataan, serta membantunya untuk kembali menjalani hidup yang penuh anugerah.
Mantra ajaib selalu digumamkan bibirnya yang kini sering tersenyum, "Badai pasti berlalu, pelangi pasti datang, semua akan baik-baik saja."
Binar matanya kini penuh harapan, dan kebahagiaan, senyumnya selalu terkembang. Jiwanya haus, rindunya menggunung, dadanya nyeri menuntut, untuk meminta maaf pada darah daging yang pernah dianggap noda.
Perjalanan baru, dimulai.
*
Sekarang, disinilah Indira berdiri. Menatap ragu, masihkah pantas dia datang dan mengakui kesalahan, menerima pengampunan, meski pun kecil harapan, Indira tetap akan mencoba.
Wanita separuh baya, tersenyum hangat menyambut kedatangan Indira, yang tubuhnya terus gemetar. Indira ingat, wanita itulah yang keluar mengambil bayinya dari teras.
Perlahan dan terbata, disela isak tangis yang tanpa jeda, Indira membuka kisah suram dan kelam yang telah membuatnya kehilangan akal, membuang darah dagingnya pada malam gerimis lima tahun silam. Seorang bayi lelaki yang tampan dan rupawan di teras bangunan panti asuhan ini.
Wanita di hadapannya, terkejut dan menangis mendengar semua kisah Indira. Indira, mengambil sebuah amplop coklat tebal dari tasnya, sejumlah nominal yang takkan bisa ditolak, sebagai permintaan maaf telah meninggalkan bayinya tanpa pesan, sebagai ucapan terimakasih telah merawat bayinya.
Wanita yang ternyata pengurus panti itu, mengangsurkan kembali amplop tebal pada Indira, kemudian menuntunnya dengan wajah sembab, menyusuri bagian dalam panti tersebut.
Indira tersenyum, bergelora rasa hati, bayinya pasti telah tumbuh dan sebentar lagi, dia akan bisa memeluknya. Dan, bibir mungilnya akan mengenal kata "Ibu".
Indira mengusap bening bahagia yang lolos begitu saja, seraya melewati ruang demi ruang, di mana ada celoteh dan gelak tawa anak-anak. Salah satunya, pasti putranya.
Ibu Panti terus menggenggam tangan Indira, menuntunnya lurus ke halaman belakang, ke salah satu sudut yang dinaungi pohon kamboja.
Indira menatap tak mengerti, sorot matanya bertanya, karena di situ sama sekali tidak ada anak-anak yang bermain.
Ibu Panti berbisik maaf, dan mengusap bahu Indira, seolah menguatkan. Indira tak mengerti, kenapa Ibu Panti terus meminta maaf, seharusnya dia yang minta maaf, membuatnya harus merawat dan mengurus bayinya yang baru lahir sejak malam gerimis lima tahun silam.
Ibu Panti menunjuk satu batu yang menonjol, tepat di bawah pohon kamboja yang rindang.
"Maaf, Mba Indira, putra Anda, telah tiada. Saya mohon maaf, tidak bisa menolongnya saat itu. Pada usia satu tahun, putra Mba mengalami kejang karena demam tinggi, saat itu saya sedang tidak di tempat, yang menjaga bayi saat itu juga sedang tidak enak badan, sehingga dia kurang fokus dan terlambat mengetahui bahwa putra Mba demam dan kejang, sungguh saya minta maaf, kami semua pengurus di sini, minta maaf atas kelalaian kami," jelas Ibu Panti dengan sedu sedan.
Indira mematung, tak ada kata yang mampu keluar dari tenggorokannya yang terasa kering tiba-tiba. Bulir bening deras berjatuhan, tanpa suara.
Indira jatuh berlutut di hadapan nisan putranya. Menangis pilu, meluapkan sesal yang begitu hebat menghantam nuraninya.
Sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, telah hilang di depan mata. Kenyataan pahit dari buah kesalahan tindakannya, yang diguncang amarah lima tahun silam.
Sesal menggerogoti jiwa Indira, mengais tanah di depannya, seolah ingin memeluk putranya, seraya terus meracau, "Anakku, maafkan Ibu, maafkan Ibu!".
Tamat.
By : Uminyo Mas Fikri Maulana
Post a Comment
Top comments
Newest first