Kesemptatan Kedua

  

Penulis: Jemz Purnomo Adi

Pantai Parangtritis pagi ini begitu sejuk. Ombaknya masih mengalun pelan. Embusan angin pun terasa lembut menerpa tubuhku.
Aku berjalan mendekati seorang wanita yang sedang sendirian. Ia berdiri sejak setengah jam yang lalu. Pastilah ia sedang menikmati indahnya hari ini.
Rambutnya yang panjang dan hitam itu membuatku yakin bahwa ia adalah wanita yang sangat aku kenal. Tubuhnya juga masih langsing seperti dulu.
"Niwa," sapaku setelah berada di sampingnya.
Wanita bernama lengkap Niwa Anna Asa'ari itu terkejut. Mungkinkah tadi ia sedang melamun sehingga tak mengetahui kedatanganku? Entahlah.
"Mas Ibaz," ucapnya.
Aku tersenyum. "Kamu kaget, ya?"
Niwa pun tersenyum. Lalu kembali melihat biru. Aku pun ikut melihat pantai tercintaku.
"Maaf, aku tak melihat kamu datang, Mas."
"Melamun atau menikmati?" tanyaku.
Wanita itu malah tersenyum. "Menurutmu?"
"Mengingat kenangan kita."
Niwa menghela napas panjang. "Jangan lagi, Mas."
Aku pun ikut menghela napas panjang. "Jangan? Lalu kenapa kamu datang ke sini?"
"Liburan. Aku liburan aja. Gak salah, kan?"
Perlahan aku menaruh tangan kananku di pundak kanannya. Gegas Niwa bergeser menjauh.
"Jangan, Mas. Aku tak mau mengulangi lagi."
"Yakin?" Aku menatapnya.
"Yakin."
"Lalu, kenapa kamu memilih tanggal 16 November?"
"Kebetulan pas hari Minggu aja, Mas."
Aku tersenyum. Seketika ada rasa sejuk di dalam hati.
"Aku juga kebetulan tahu kalau tanggal 16 November hari Minggu. Maka dari itu aku datang ke pantai Parangtritis ini. Kuharap kamu juga begitu."
"Aku cuma ingin menikmati indahnya pantai di pagi hari. Itu saja, Mas."
Kupegang kedua tangan Niwa sehingga kini kami saling berhadapan.
"Jujur. Kamu ke sini untukku, kan? Untuk hubungan kita?" tanyaku sambil menatapnya tajam.
Niwa menggeleng. "Tidak, Mas. Ini tidak sengaja."
"Kamu pasti memilih tanggal 16 November ini. Tanggal jadian kita. Iya, kan?"
Niwa menghela napas berat. "Terserah kamu lah, Mas."
"Niwa." Aku menggoyangkan kedua tangannya.
"Maaf, Mas. Tolong lepaskan." Niwa mengibaskan kedua tangannya sehingga lepas dari genggamanku.
"Ayolah, Niwa."
"Pergilah, Mas. Aku ingin sendiri."
"Aku tak yakin kalau kamu telah melupakan dan melepaskan rasa cintamu."
Niwa menoleh. Tanpa senyum. Lalu kembali melihat biru.
Kusadari ia tak suka kehadiranku.
"Baik. Aku akan pergi. Dengan satu syarat."
Wanita cantik itu menoleh. "Apalagi, sih, Mas?"
"Mari lantunkan pantun dan puisi kita, Niwa."
"Aku tidak mau, Mas."
"Kalau begitu, aku juga tak mau pergi."
Niwa kembali menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi, tepati janjimu."
Aku tersenyum. "Ayo mulai. Pantun dulu."

Jalan-jalan ke Parangtritis
Jangan lupa beli es kelapa
Pelan-pelan mari merintis
Tak harus memiliki tak mengapa
Minum jamu kuatkan kaki
Badan sehat cerah mukanya
Walau kamu tak bisa kumiliki
Kucintai kamu selamanya
Pasir lembut di tepi pantai
Pecah terbawa ombak laut
Tak kaku jemput aku santai
Kau istimewa sampai maut
Beli pisang di pasar pagi
Bayarnya pakai uang pas
Aku senang kamu pergi
Cinta kita di waktu tidak pas
"Tuh, kan. Kamu masih ingat pantun kita, Niwa," ucapku bahagia.
"Kita baru 5 tahun berpisah, Mas. Wajar lah kalau aku masih ingat. Sekarang silakan pergi."
"Puisinya belum."
Ibaz dan Niwa
Indahnya dunia tak seindah cinta
Bisa sempurna karena setia
Aku menengadah dan berdoa
Zaman akhir kita tetap saling mencinta
Demi segalanya yang membuat bahagia
Aku berikan satu persatu
Nyalakan api cinta
Nestapa mengusik jiwa
Ini adalah ujian tak ada akhir
Waktu mengunci pertemuan dejavu
Andai bisa pergi dan mengubah segalanya
"Udah, Mas. Silakan pergi."
"Kamu benar-benar mengusirku, Niwa?"
"Tepati janjimu, Mas."
"Ayolah, Niwa. Mungkinkah ini adalah kesempatan kedua kita?"
"Kesempatan untuk apa?"
"Untuk saling memiliki."
"Tidak, Mas. Bukan. Ini bukan kesempatan kedua. Ini hanya pertemuan tak sengaja dan tak terencana. Selamanya kita tidak berjodoh. Aku sadari itu, Mas."
"Tapi ...."
"Mamaaa...."
Seorang anak kecil memanggil Niwa.
"Papaaa...."
Bersamaan itu pula anakku memanggilku.
Anak kecil yang cantik itu segera berhambur ke pelukan Niwa. Lalu Niwa menggendongnya.
Begitu pula dengan anakku. Setelah kutepuk pundaknya, lalu kusuruh untuk bermain di pinggir pantai.
"Mama, Namla tadi bikin pop mie di hotel sama Papa," ucap anaknya Niwa.
"Wah, hebat. Namla anak yang cantik dan hebat. Sekarang Namla bermain di sana, ya." Niwa menurunkan anaknya dan menunjuk ke arah pantai.
"Namla? Nama anakmu Namla, Niwa?"
"Iya."
"Namla singkatan dari enam belas, kan?"
Niwa tersenyum. Kurasakan lega di dalam hati.
"Nama anakku Nabel. Singkatan dari enam belas juga."
Lagi-lagi Niwa tersenyum.
"Nabel, sini," panggilku.
"Namla, sini." Niwa juga memanggil anaknya.
Setelah kedua anak itu berada di samping kami, kusuruh mereka untuk berkenalan.
"Ayo, kenalan."
"Nabel."
"Namla."
"Eh, itu Mama," ucap anakku sambil melambaikan tangan.
"Eh, itu Papa," ucap Namla yang juga melambaikan tangan.
Akhirnya kedua keluarga saling bertemu. Aku berjabat tangan dengan suami Niwa.
"Ibaz. Teman SMA Niwa."
"Baskoro Adi Jaya," ucap laki-laki gagah itu.
"Niwa, kenalkan. Ini istriku, Atun. Sholihatun."
"Sholihatun."
"Niwa Anna Asa'ari."
"Ayo kita nikmati pagi ini dengan bermain ombak," ajakku.
"Ayo." Semua serentak menjawab. Lalu kami pun memilih tempat masing-masing.
Aku terkejut saat berpapasan dengan Niwa. Ia membalas ucapanku dengan berucap lirih di sampingku.
"Kita memang tidak berjodoh, Niwa."
"Iya. Simpan di hati saja. Jadikan kenangan terindah."
Selesai.


Purwakarta, 5 Maret 2022


Cerpen
Post a Comment
Top comments
Newest first
Table of Contents
Link copied successfully.