Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial
Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial. Pada bulan Oktober 2001, keputusan Amerika Serikat untuk melancarkan serangan militer ke Afghanistan sebagai respons terhadap serangan 11 September oleh al-Qaeda menyebabkan munculnya gelombang besar protes di seluruh dunia Muslim. Terlepas dari beragam konteks aktivisme dan multivokalitas demonstrasi-demonstrasi tersebut, beberapa pola umum muncul selama tahap-tahap awal perang di Afghanistan itu.
Pertama, banyak demonstrasi terbesar berlangsung setelah dilakukannya ibadah dan khutbah Jumat di masjid-masjid. Di Kenya, misalnya, 3.000 orang pemrotes memenuhi jalan-jalan di Nairobi, melambai-lambaikan plakat dan meneriakkan slogan-slogan setelah beribadah di sebuah masjid yang dipimpin Shaykh Ahmed Mussalam, Ketua Dewan Imam dan Sarjana (Africa News, 13 Oktober, 2001). Dalam sebuah peristiwa di Jakarta, setelah salat Jumat, 10.000 orang Islam berarak dari Monumen Nasional menuju Kedutaan Besar Amerika Serikat dan kemudian memenuhi Jalan Thamrin dengan para pemrotes, bus-bus, sepeda motor, dan truk (Agence France Presse, 19 Oktober 2001). Di Kuala Lumpur, 2.000 orang anggota Partai Islam Pan-Malaysia (PAS) berdemonstrasi di luar Kedutaan Besar Amerika setelah berkumpul untuk salat Jumat di sebuah masjid di dekatnya. Para wakil PAS akhirnya diizinkan masuk ke dalam kedutaan besar untuk mengajukan sebuah pernyataan yang memprotes pengeboman di Afghanistan itu (Deutsche Presse-Agentur, 12 Oktober 2001). Tak diragukan, berbagai demonstrasi juga terjadi di hari-hari lain. Namun, sebagai situs-situs sosial dari tindakan kolektif, berbagai pertemuan pada hari Jum’at di masjid-masjid di atas memberi kesempatan untuk mengorganisasikan ketidakpuasan.
Kedua, meskipun orang-orang Islam yang tidak memiliki afiliasi tertentu sering kali berpartisipasi dalam berbagai demonstrasi, kelompok-kelompok gerakan Islam adalah penggerak utama yang mengorganisasikan banyak peristiwa protes tersebut. Organisasi-organisasi Islam terkenal, seperti Ikhwanul Muslimun (Mesir dan Yordania), Partai Keadilan (Indonesia), dan Jamiat Ulama-I-Islam (Pakistan), mengorganisasi berbagai protes dan pertemuan besar-besaran yang menentang perang di Afghanistan dan dukungan pemerintah Muslim bagi Amerika Serikat. Kelompok- kelompok yang lebih kecil dan lebih radikal, seperti Laskar Mujahidin (Indonesia), juga secara aktif mengorganisasikan berbagai demonstrasi menentang pengeboman Amerika Serikat tersebut.
Ketiga, demonstrasi-demonstrasi tersebut sering kali dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mengecam kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggap memutarbalikkan kesalahan dan memain-mainkan definisi istilah yang digunakan oleh pemerintah Amerika untuk membenarkan tindakannya. Secara khusus, Amerika digambarkan sebagai perwujudan kejahatan, terorisme, dan ketidakadilan karena dukungannya terhadap Israel ketimbang rakyat Palestina, kebijakannya terhadap Irak, dan serangan-serangannya yang menewaskan rakyat sipil di Afghanistan. Berbagai spanduk mengutuk perang Amerika Serikat di Afghanistan, seperti “Perang salib terhadap Islam” (Jordan Times, 12 Oktober 2001), dan menuduh bahwa “Bush adalah teroris terbesar” (Deutsche Presse-Agentur, 12 Oktober 2001).
Spanduk-spanduk yang lain menyerukan “Selamatkan dunia dari terorisme global [yakni Amerika Serikat]” dan “Seret Bush ke pengadilan internasional” (Agence France Presse, 11 Oktober 2001). Slogan-slogan ini disertai dengan kutukan “Kematian [bagi] Amerika” yang tersebar di mana-mana dan plakat-plakat yang mengumumkan dukungan bagi Osama bin Laden. Dalam sebuah pertemuan besar di Nigeria Utara, yang dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang Islam, Presiden Kano State Council Ulama dengan jelas meringkaskan sentimen umum yang ada di jalan-jalan di negeri Muslim: “Definisi Amerika tentang terorisme berbeda dari definisi yang ada di seluruh dunia. Amerika adalah negara teroris terbesar, melihat serangan- serangannya yang tak beralasan terhadap negeri-negeri seperti Libya, Irak, dan Sudan” (Agence France Presse, 7 Oktober 2001).
Keempat, sebagian besar protes tersebut memperlihatkan serangkaian repertoar perseteruan (repertoir of contention) yang konsisten (Tilly, 1978; Traugott, 1995). Selain pawai dan pertemuan akbar yang dimaksudkan untuk memperlihatkan oposisi terhadap Amerika Serikat, para pemrotes menggunakan sarana-sarana perseteruan yang lain. Berbagai petisi ditujukan kepada wakil-wakil rakyat Amerika Serikat dan juga kepada pemerintah-pemerintah Muslim. Para pemrotes menggelar spanduk-spanduk dalam bahasa setempat dan juga dalam bahasa Inggrisyang terakhir ini memperlihatkan suatu strategi untuk mengincar audiens luar negeri dalam era globalisasi.
Berbagai dukungan dan tindakan simbolik juga lazim muncul, khususnya idiom-idiom keagamaan dan pembakaran bendera Amerika dan patung Presiden George Bush. Kekerasan terjadi, namun biasanya sebagai tanggapan terhadap teknik penanganan protes yang cenderung represif. Semua bentuk perseteruan ini adalah bagian dari apa yang kami sebut sebagai “aktivisme Islam”—mobilisasi perseteruan untuk mendukung kepentingan dan tujuan kaum Muslim. Definisi kami tentang “aktivisme Islam” jelas luas dan berusaha untuk seinklusif mungkin.
Dalam hal ini, definisi itu mencakup beragam perseteruan yang sering kali muncul atas nama “Islam”, termasuk gerakan-gerakan dakwah, kelompok-kelompok teroris, tindakan kolektif yang bersumber dari simbol dan identitas Islam, gerakan-gerakan politik yang berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam, dan kelompok-kelompok berorientasi-ke-dalam yang mengusung spiritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif. Kami yakin bahwa melihat begitu banyaknya perbedaan dalam dunia Muslim menyangkut apa yang benar-benar “Islami”, akan merupakan suatu kebodohan untuk secara dangkal membuat deskripsi sempit yang mencakup beberapa definisi sepihak tentang apa itu “Islami” dan menyingkirkan definisi-definisi yang lain.
Pola-pola perseteruan dalam protes-protes anti-Amerika Serikat yang digambarkan di atas bukanlah sesuatu yang khas milik aktivisme Islam. Berbagai petisi, spanduk, pawai, dan taktik-taktik perseteruan yang lain, misalnya, sangat umum ditemukan dalam aksi-aksi protes modern. Meskipun pengorganisasian dan pilihan taktik yang diterapkan mungkin berbeda-beda berdasarkan konteks lokal, terdapat instrumen-instrumen umum dalam rangkaian taktik tersebut yang memperlihatkan suatu konsistensi di berbagai tempat dan waktu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sidney Tarrow (1994), taktik-taktik tersebut sangat umum sehingga mereka mencerminkan bentuk-bentuk protes modular yang dapat digunakan oleh aktor-aktor yang berbeda di waktu dan tempat yang berbeda. Selain itu, aktor-aktor kolektif yang lain juga menanggapi berbagai ketidakpuasan, menggunakan berbagai sumber daya kelembagaan dan organisasi untuk mendapatkan dukungan, dan membuat bingkai-bingkai mobilisasi yang bersumber dari berbagai simbol, wacana, dan praktik, yang sering kali dirancang untuk membangkitkan rasa ketidakadilan untuk mendorong aktivisme.
Hal ini menunjukkan bahwa dinamika, proses, dan organisasi aktivisme Islam dapat dipahami sebagai elemen- elemen perseteruan yang penting yang melampaui kekhususan “Islam” sebagai suatu sistem makna, identitas, dan basis tindakan kolektif. Meskipun komponen-komponen ideasional dan inspirasi Islam sebagai suatu pandangan dunia ideologis membedakan aktivisme Islam dari bentuk-bentuk perseteruan yang lain, tindakan kolektif itu sendiri dan mekanisme- mekanisme yang ada memperlihatkan konsistensi dalam semua jenis gerakan.
Dengan kata lain, aktivisme Islam bukanlah sesuatu yang khas. Terlepas dari berbagai kemiripan ini, sebagian besar studi tentang aktivisme Islam masih terisolasi dari begitu banyak perkembangan teoretis dan konseptual yang muncul dari penelitian tentang gerakan sosial dan politik perseteruan. Sebaliknya, sebagian besar publikasi tentang aktivisme Islam lebih merupakan analisis deskriptif tentang ideologi, struktur, dan tujuan-tujuan dari beragam aktor Islam atau sejarah gerakan-gerakan tertentu. Dinamika- dinamika sosiologis yang lain masih tetap tidak dikaji atau diremehkan sebagai orientasi ideologis Islam yang unik, dan dengan demikian secara implisit mengesensialkan aktivisme Islam sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami secara komparatif dan mengekalkan keyakinan tentang eksepsionalisme Islam.
Ketika analisis komparatif digunakan (di luar kajian atas beragam contoh aktivisme Islam), ia umumnya terbatas pada perbandingan dengan “fundamentalisme-fundamentalisme keagamaan” lain yang sama-sama memiliki fondasi ideologis dan orientasi keagamaan yang mirip, dan dengan demikian menegaskan keterbandingan gagasan dan bukan mekanisme aktivisme (Antoun dan Hegland, 1987; Lawrence, 1989; Sivan dan Friedman, 1990; Kepel, 1994; Marty dan Appleby, 1995). Akibatnya adalah bahwa karya kesarjanaan tersebut cenderung mengabaikan berbagai perkembangan dalam penelitian gerakan sosial yang dapat memberikan sumbangan teoretis pada banyak isu yang relevan dengan aktivisme Islam.
Rintangan lain terhadap pembentukan teori dalam studi tentang aktivisme Islam adalah bahwa penelitian multidisipliner tidak disatukan oleh suatu agenda penelitian bersama. Terpecah-pecah dalam beragam disiplin, publikasi- publikasi tentang aktivisme Islam cenderung mengikuti rangkaian pertanyaan penelitian, kerangka teoretis, dan metodologi yang sempit, yang masing-masingnya ditentukan oleh suatu fokus disiplin tertentu. Sebagian besar ilmuwan politik, misalnya, lebih tertarik kepada pertanyaan bagaimana Islam memengaruhi negara dan politik; para sosiolog tertarik untuk mengkaji akar-akar demografis para anggota baru kalangan Islamis; para sarjana studi keagamaan umumnya berfokus pada gagasan-gagasan yang memotivasi aktivisme Islam; dan kalangan sejarawan menguraikan sejarah kelompok-kelompok Islamis tertentu.
Akibatnya, fragmentasi disiplin keilmuan telah menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang masing-masing elemen tertentu dari aktivisme Islam, tetapi hal itu berlangsung tanpa memunculkan model- model atau kerangka-kerangka yang menjelaskan bagaimana semua elemen ini berpadu bersama, berinteraksi, dan memengaruhi pola-pola perseteruan Islam. Sebaliknya, sebuah agenda penelitian bersama akan menghasilkan serangkaian pertanyaan-kerja, konsep, dan garis besar teori bersama yang membantu memberikan suatu pemahaman yang komprehensif dan saling-terkait tentang aktivisme Islam. Tujuan buku ini adalah menawarkan teori gerakan sosial sebagai suatu kerangka dan agenda yang menyatukan, yang dapat menyediakan bentuk-bentuk penelitian yang efektif untuk memperluas batas-batas penelitian tentang aktivisme Islam.
Sementara mayoritas studi tentang aktivisme Islam cenderung berasumsi bahwa serangkaian ketidakpuasan tertentu—yang diterjemahkan ke dalam idiom-idiom dan simbol-simbol keagamaan—menghasilkan mobilisasi, beragam generasi teori gerakan sosial dan perdebatan- perdebatan yang menyertainya memperlihatkan bahwa faktor-faktor lain sangat terkait dengan proses-proses mobilisasi, antara lain ketersediaan sumber daya, resonansi pembingkaian, dan perubahan dalam struktur-struktur kesempatan politik.
Dengan menggunakan teori gerakan sosial, buku ini memperlihatkan manfaat dari suatu bahasa bersama bagi analisis komparatif dan pembentukan teori. Pada saat yang sama, harapan kami bukan hanya memperlihatkan cara di mana teori gerakan sosial memberikan pengaruh teoretis pada banyak isu yang sangat terkait dengan studi aktivisme Islam, melainkan juga memperlihatkan bagaimana studi tentang aktivisme Islam menawarkan lahan uji baru bagi teori gerakan sosial. Didominasi oleh penelitian empiris tentang Amerika Serikat dan Eropa Barat, pembentukan teori gerakan sosial sangat lekat dengan konteks masyarakat-masyarakat demokratis liberal dan masyarakat- masyarakat Barat, dan dengan demikian menyempitkan kemungkinan generalisasi temuan-temuan dan kesimpulan- kesimpulan. Seperti dikeluhkan oleh beberapa sarjana gerakan sosial,
“Kekayaan komparatif baru yang tersedia bagi para peneliti gerakan sosial didasarkan terutama pada penelitian yang berakar dalam masyarakat-masyarakat demokratis liberal... Jika pemahaman kita tentang dinamika tindakan kolektif sudah sangat diuntungkan oleh perbandingan di antara kasus-kasus yang ditemukan di dalam masyarakat- masyarakat yang relatif homogen ini, bayangkan apa yang mungkin kita pelajari jika kita memperluas perspektif kita sehingga mencakup beragam masyarakat lain, di waktu dan tempat yang berbeda” (McAdam, 1996: xii).
Tak diragukan lagi, lingkup kasus yang belakangan diteliti memang telah meluas, mencakup masyarakat- masyarakat yang kurang terbuka dan masyarakat-masyarakat non-Barat. Namun demikian, dunia Muslim masih belum sepenuhnya terintegrasikan ke dalam teori gerakan sosial. Ketersebaran aktivisme Islam dan percabangan-percabangan globalnya (baik di dunia Muslim maupun non-Muslim, khususnya sejak 11 September) berarti bahwa kelemahan ini penting diperhatikan. Melihat beragamnya aktor-aktor kolektif yang beroperasi atas nama “Islam” (kelompok-kelompok ibadah, kaum teroris, lingkaran-lingkaran studi, partai-partai politik, LSM-LSM, perkumpulan-perkumpulan kebudayaan, dan lain-lain), seseorang mungkin akan mengeluarkan klaim kuat bahwa aktivisme Islam merupakan salah satu contoh aktivisme paling umum di dunia.
Dengan demikian, ini merupakan topik yang penting, dan mungkin menantang teori gerakan sosial untuk memikirkan kembali dan memperbaiki asumsi-asumsi dan kesimpulan-kesimpulannya tentang perseteruan. Dengan memperlihatkan produktivitas pendekatan teori gerakan sosial dalam memahami aktivisme Islam, buku ini telah memberi bentuk kepada minat yang sebenarnya sudah muncul secara kuat selama beberapa dekade belakangan. David Snow dan Susan Marshall (1984) memulai seruan pertama yang diterbitkan untuk memasukkan penelitian tentang aktivisme Islam ke dalam teori gerakan sosial. Analisis mereka tentang hubungan antara imperialisme budaya dan gerakan- gerakan Islam secara efektif memanfaatkan sarana-sarana teoretis yang sedang berlaku dalam penelitian gerakan sosial pada masa itu, termasuk ketegangan-ketegangan struktural sebagai katalis, ideologi-ideologi mobilisasi, dan mobilisasi sumber daya.
Agama digambarkan sebagai sumber dari suatu ideologi mobilisasi dan sumber-sumber daya organisasi yang digunakan untuk melawan imperialisme budaya yang terlihat. Mereka menyimpulkan dengan suatu seruan akan “integrasi penelitian tentang gerakan-gerakan keagamaan maupun politik” dan menyatakan bahwa “terlalu sering para peneliti kedua jenis gerakan tersebut mengabaikan karya satu sama lain, yang akibatnya adalah munculnya pemahaman yang tidak utuh tentang gerakan sosial” (1984: 146). Para penulis lain mendukung penghapusan yang lebih umum atas percabangan artifisial antara studi-studi gerakan keagamaan dan non-keagamaan (misalnya, Hannigan, 1991; Williams, 1994), dan sekelompok sarjana secara khusus mendorong studi tentang aktivisme Islam (secara langsung atau tidak langsung melalui contoh) (Foran, 1994; Vergés, 1997; Tehami, 1998; Wolff, 1998; Munson, 2001; Wiktorowicz, 2001; Schatz, 2002; Wickham, 2002; Clark, 2003; Hafez, 2003).
Keputusan Sidney Tarrow untuk memasukkan pembahasan singkat tentang fundamentalisme Islam dalam edisi kedua Power in Movement (1998) mencerminkan pengakuan yang lebih luas di kalangan para teoretisi gerakan sosial bahwa aktivisme Islam merupakan topik penelitian yang penting, khususnya ketika para sarjana semakin merambah mempelajari wilayah-wilayah dan gerakan-gerakan baru. Pada saat yang sama, para spesialis aktivisme Islam telah secara aktif mencari kerangka baru untuk memahami perseteruan atas nama Islam.
Didorong oleh perubahan menyeluruh dalam studi-studi wilayah untuk menjadi lebih komparatif dan teoretis (Tessler, 1999), mereka yang tertarik pada aktivisme Islam berusaha untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang lebih komprehensif dan teoretis. Sebagaimana dijelaskan oleh bagian-bagian di bawah ini, pencarian ini menjadikan para pengkaji aktivisme Islam mengalami berbagai perkembangan teoretis yang mirip dengan kecenderungan-kecenderungan dalam teori gerakan sosial.
Meskipun dua wilayah penelitian ini secara historis kurang banyak berhubungan, berbagai perkembangan serupa mempererat persamaan-persamaan dan kemungkinan untuk saling mengisi. Bagian selanjutnya dari pengantar ini akan menguraikan wilayah-wilayah pertemuan yang muncul selama beberapa dekade terakhir, sebelum menyimpulkan dengan suatu penjelasan mengenai garis besar struktur buku ini.
Post a Comment
Top comments
Newest first