Persaingan Ideologi Liberal Amerika Melawan Komunis China
Rivalitas ideologi tak pelak lagi merupakan bagian tak terpisahkan dari rivalitas AS vs China saat ini. Hal itu tercermin dari perang narasi antara Biden dan X
Jinping, antara pejabat AS dan pejabat China, antara media massa AS vs media pemerintah China.Perang narasi ini mulai menghangat sejak Joe Biden memasuki Gedung Putih, bahkan sejak masih dalam kampanye pemilihan presiden.
Pandangan Biden Tentang China
Pada pidatonya di depan Konggres AS pada hari ke seratus pemerintahannya Biden menyatakan bahwa ia akan memanfaatkan masa jabatanya sebagai Presiden AS untuk membuktikan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang benar. Sementara itu dalam konperensi pers pertama di bulan Maret 2021 Biden juga menyatakan bahwa “sangat jelas ini merupakan pertarungan antara demokrasi dan otokrasi.
Bagi Joe Biden hubungan AS dan China saat ini merupakan konfrontasi antara AS dan sekutu-sekutunya melawan China yang akan memaksakan sistem politik otoriter ke seluruh dunia. Biden juga berjanji akan menuntut tanggung-jawab China atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, Hong Kong dan akan mempertahankan Taiwan. Sedangkan Linda Thomas Greenfield, calon Duta Besar AS di PBB, menyatakan bahwa China komunis merupakan ancaman bagi keamanan dan nilai-nilai dasar AS.
Biden tampak khawatir bahwa kebijakan politik, ekonomi, dan teknologi China akan merongrong kebebasan dan demokrasi, dan mendorong tatanan dunia non demokratis serta memperkuat rejim-rejim otoriter diseluruh dunia. Oleh karena itu Biden perlu menjelaskan kepada masyarakat dunia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi tentang berlangsungnya perdebatan tentang jalan terbaik menuju masa depan, apakah sistem demokrasi atau otoriter.
Dalam proses global ini Biden dituntut untuk sungguh- sungguh mempertahankan demokrasi sambil pada saat yang sama mengkritik habis totalitarianisme. Para pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa Biden tidak akan berhenti menekan China dalam persoalan hak asasi manusia, perdagangan dan persoalan yang lain karena China dianggap melakukan pelanggaran norma-norma internasional.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa sejak awal Biden telah merencanakan program besar untuk memperkuat kembali demokrasi yang tidak banyak mengalami kemajuan selama 4 tahun pemerintahan Donald Trump. Oleh karena itu sejak Pebruari 2021 pemerintah Biden-Haris telah menyatakan bahwa “Demokrasi tidak terjadi dengan tiba-tiba. Kita harus mempertahankannya, memperjuangkannya, memperkuatnya dan memperbaharuinya.” Summit for Democracy yang kemudian dilaksanakan pada awal Desember 2021 tidak hanya untuk memperkuat demokrasi, yang sedang mengalami kemunduran global, tapi juga sebagai tanggapan terhadap kebangkitsn China sebagai negara non-demokrasi atau negara otoriter.
Sikap China Terhadap AS
Selama ini China memandang AS sebagai negara yang terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri China. AS juga dipandang sebagai negara yang mengancam keamanan dalam negeri China serta tidak menghormati kedaulatannya. Para diplomat dan juru bicara pemerintah China menyatakan bahwa AS hanya memberikan ceramah bagi negara-negara lain namun dalam kenyataan tidak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Oleh karena itu China akan terus mempertahankan kepentingan nasionalnya.
Bagi China arus informasi yang bergerak bebas sebagai- mana dipraktekkan di negara-negara demokrasi Barat serta daya tarik demokrasi itu sendiri bisa menjadi ancaman bagi stabilitas rejim otoriter. Sebaliknya, Xi Jinping yakin bahwa sosialisme dengan karakter China kelak akan berhasil mengalahkan kapitalisme liberal. Tatanan internasional liberal saat ini tidak cocok bagi China oleh karena itu harus diubah. Sementara itu menurut sejarahwan Rana Mitter, Direktur Pusat Studi China, Universitas Oxford, menanggapi krisis ekonomi 2008 yang melanda AS saat itu China berpendapat bahwa Barat tidak lagi memiliki pelajaran untuk diajarkan pada China dan sejak itulah China memperkuat ekonominya. Sedangkan keberhasilan China paling cepat dalam mengatasi pandemi telah menumbuhkan pandangan baru dikalangan para pemimpin dan rakyat China bahwa ada sesuatu yang salah dengan demokrasi Barat sedangkan sistem China justru lebih baik.
Xi Jinping memandang bahwa tatanan dunia saat ini sedang mengalami pergeseran geopolitik dan teknologi yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Dan penyebab pergeseran ini adalah tumbuhnya kekuatan China dan pada saat yang sama Barat sedang merusak dirinya sendiri. Menyaksikan pemisahan Inggris dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, China memandang bahwa negara demokrasi paling kuat didunia sedang menarik diri dari tatanan internasional yang AS ikut membangunya dan kini sedang dilanda krisis demokrasi di negaranya sendiri. Sementara reaksi Barat terhadap pandemi yang tidak sehebat China membuat para pemimpin China yakin bahwa waktu sedang berpihak ke mereka saat ini. Saat ini tampaknya China sedang mempersiapkan diri untuk membangun abad 21 sebagaimana dahulu AS membangun abad 20.
Ditengah meluasnya ketegangan akibat rivalitas AS vs China, China, dalam kesempatan Sidang Umum PBB ke 76, Xi Jinping menyatakan bahwa dunia perlu memajukan perdamaian, pembangunan, persamaan, keadilan, demokrasi, kebebasan. Dunia perlu terus mengembangkan dialog dan kerjasama karena dunia sangat luas untuk mengakomodasi kepentingan semua negara. Duta Besar China di PBB juga mengharapkan agar AS menghindari “pendekatan konfrontatif” dan provokasi terhadap China.
Beijing memandang Washington sedang menjalankan kebijakan untuk mencegah kebangkitan China. Hal mem- buat kepemimpinan China kurang berminat melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi AS. China tidak ingin AS mencegah upaya China untuk menjadi negara besar dan akan menggerakkan China menuju posisi terkemuka didunia.
China membalas serangkaian kampanye negatif yang dilancarkan Biden dengan menyerang balik pihak AS khususnya menjelang Pertemuan Puncak Demokrasi pada bulan Desember 2021. Para pejabat partai China mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang gagal menanggapi pandemi covid-19 bisa memberi kuliah pada negara lain tentang demokrasi. Mereka menyatakan bahwa upaya memaksa negara-negara lain mencontoh model demokrasi Barat pada akan berakhir dengan kegagalan.20 Seorang pejabat partai lain menyatakan bahwa selama ini AS dan negara Barat lain menggunakan demokrasi untuk menghambat kemajuan China.
Berkaitaan dengan program Summit for Democracy yang diselenggarakan Biden secara virtual China agak emosinal memberikan tanggapanya bahkan sebelum program virtual tersebut terlaksana. Media dan para diplomat China menggambarkan sistem pemerintahan AS tidak lebih dari “permainan politik uang” dimana “segelintir orang menguasai banyak orang.” Beijing juga menyatakan bahwa sistem politik China “demokrasi yang sebenarnya” karena dapat “berfungsi dengan baik.” Paska pelaksanaan Summit for Democracy, China menyebut bahwa demokrasi Amerika merupakan “senjata pemusnah massal” karena kecenerungan AS mencampuri urusan dalam negeri negara-negara lain.
Potensi Ancaman China Terhadap Demokrasi di Negara Berkembang
Perang narasi antara AS vs China dalam kaitannya dengan mana sistem politik yang lebih baik tidak akan banyak berpengaruh secara langsung terhadap masing- masing negara. Nyaris mustahil sistem demokrasi AS akan berpengaruh pada kehidupan politik, ekonomi dan sosial China. Demikian pula mustahil sistem satu partai China yang otoriter mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial AS. Rivalitas ideologis kedua superpower hanya berlangsung di tingkat perang narasi dan tidak akan mengubah sistem politik masing-masing.
Akan tetapi bagi sebagian besar negara berkembang sudah sejak lama, walaupun tidak seluruhnya, telah menerapkan demokrasi pada sistem politiknya. Akan tetapi perkembangan akhir-akhir ini demokrasi, yang dianut oleh lebih dari separuh negara didunia ini, mengalami penurunan kualitas. Negara-negara demokrasi seperti India, Brasil, Hongaria, Israel, bahkan AS sendiri saat ini sedang mengalami kemunduran luar biasa. Namun kemunduran kwalitas demokrasi di negara-negara tersebut lebih banyak disebabkan oleh alasan-alasan domestik atau kegagalan mereka sendiri dalam mempertahankan kualitas demokrasi masing-masing.
Akan tetapi di negara-negara berkembang persoalannya menjadi berbeda, khususnya jika dikaitkan dengan kampanye BRI yang sangat sukses. BRI sebagai faktor eksternal berpotensi mengurangi kualitas demokrasi mereka. Keberhasilan China dalam mempromosikan BRI membuat 139 negara dewasa ini merupakan anggota dari BRI dengan jumlah penduduk sekitar 63% dari seluruh penduduk dunia. Negara-negara yang tidak tertarik bergabung dengan BRI pada umumnya lebih demokratis, lebih stabil secara politik dan lebih baik tingkat perekonomiannya dibandingkan dengan mereka yang mendukung BRI. Salah satu ciri pokok BRI adalah negara- negara yang mengajukan pinjaman dalam konteks BRI tidak harus merupakan negara demokrasi dan tidak melanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain semua negara, sekalipun sistem politiknya otoriter dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tetap berpeluang mendapatkan pinjaman untuk melakukan pembangunan proyek infrastruktur.27 Bahkan di negara-negara ASEAN dan Afrika China memanfaatkan sebaik mungkin proyek-proyek BRI ini untuk mengalihkan buruh dari industri padat karya dari China ke kawasan- kawasan tersebut.
Lebih jauh patut diperhatikan bahwa China kini sedang tumbuh pesat dengan penuh kebanggaan menjadi negara kapitalis komunis. China berhasil membuktikan bahwa kapitalisme tidak selalu berujung pada terbentuknya demokrasi sebagaimana selama ini dipropagandakan Barat. Sebaliknya, China yang sejak awal merupakan negara komunis hingga kini tetap komunis sekalipun ekonominya menerapkan sistem kapitalis model China. Komunisme model baru ini memanfaatkan secara maksimum teknologi artificial intelligence untuk memaksa seluruh warga China mengikuti dan mematuhi garis partai. Dengan menerapkan totalitarian teknologi ini segala macam penindasan dibenarkan sebagai bagian tak terpisahkan dari mesin ekonomi dan menjamin tercapainya kemakmuran.
Tak pelak lagi negara-negara anggota BRI yang pada umumnya bukan negara demokrasi, tidak stabil politiknya dan ekonominya belum berkembang pesat pada umumnya tertarik dengan model kapitalisme komunis China saat ini. Yaitu sebuah kombinasi antara kapitalisme yang menjanjikan kemakmuran dengan sistem politik totaliter yang sangat efektif dan represif mengendalikan rakyatnya Dengan demikian promosi BRI besar-besaran ke 139 negara di dunia saat ini membawa potensi ancaman terhadap masa depan demokrasi negara-negara berkembang yang tingkat demokrasinya masih rendah.