PELAYANAN PUBLIK DI ERA DESENTRALISASI: Studi Tentang Variasi Cakupan dan Peranan Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik Deputi Bidang Polhankam Bappenas
Abstrak
Banyaknya keluhan atas rendahnya kinerja pelayanan publik, mendorong
Bappenas mengadakan serial kajian pelayanan publik, yang dimulai dari kajian tentang kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda). Kajian awal ini bertujuan untuk menemukenali pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, variasinya di beberapa daerah, dan berapa besar proporsi peranan Pemda dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penelitian dilakukan secara proporsional di dua kabupaten dan dua kota di Indonesia, dengan mempertimbangkan heterogenitas daerah, sosial budaya, fisik dan geografis, potensi sumber daya, dan pemerintahan. Daerah contoh penelitian ini adalah Kota Mataram, Kota Malang, Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Sleman.
Data kajian ini diperoleh melalui dua teknik pengumpulan data utama, yaitu wawancara dan dokumentasi. Lalu dilakukan pula analisis kualitatif.
Kesimpulan yang didapat adalah terdapat perbedaan variasi peranan Pemda yang disebabkan oleh letak geografis (kepulauan, daratan) dan kabupaten-kota. Kesiapan aparatur dan masyarakat ternyata sangat mempengaruhi pelayanan publik. Di Kabupaten Sleman, misalnya, semakin siap aparatur dan masyarakat, semakin baik pelayanan publiknya.
Berdasarkan pada temuan yang ada, maka dihasilkan rekomendasi untuk melakukan perubahan paradigma dasar dari paradigma dilayani. Kemudian peran sektor lain, di luar Pemda dalam penyediaan pelayanan publik, harus terus ditumbuhkan, karena Pemda memiliki keterbatasan memberi layanan kepada masyarakat.
Dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, model birokrasi yang sesuai bagi di kota-kota dan wilayahnya bercorak perkotaan adalah market-oriented enabling authority. Untuk kabupaten yang sebagian besar wilayahnya bercorak pedesaan, model birokrasi yang tepat kiranya adalah community-oriented enabling authority. Sebab, di wilayah tersebut kondisi sosial yang berkembang lebih guyub, sehingga mekanisme altruisme masih berjalan untuk menyediakan banyak kebutuhan masyarakat.
1. LATAR BELAKANG
Sejak Undang-ungdang Nomor 22 tahun 1999 (UU No.22/1999)diterapkan, telah terjadi pergeseran model pemerintahan daerah: semula menganut model efisiensi struktural, kini mengarah ke model demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara bangsa.
Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam 1
organisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum, artinya penerapan desentralisasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi.
Adapun partisipasi dan kemandirian, berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri, yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Hoessein(2001: 5)
Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.
Mengacu pada pengertian dasar tersebut di atas, penelitian ini akan mengkaji variasi cakupan pelayanan publik yang dilakukan beberapa Pemda di Indonesia. Variasi pelayanan publik itu merupakan cerminan kemandirian masyarakat di daerah yang bersangkutan, dalam upaya mendapatkan jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penelitian ini dipandang penting karena pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu pilar untuk menunjukkan terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu, secara teknis belum banyak pakar yang secara khusus meneliti fenomena ini secara komprehensif, dalam telaahan kritis tentang otonomi daerah sebagai penjelmaan otonomi masyarakat.
Adapun penerapan model efisiensi struktural selama ini telah membawa dampak tertentu, yakni berbagai pelayanan di sektor publik menjadi tidak berkualitas. Ada kecenderungan pemerintah pusat enggan menyerahkan kewenangan lebih besar kepada daerah otonom, sehingga pelayanan publik tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis.
Lebih dari itu, pelayanan publik cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsifitas, dan tidak representatif. Banyak contoh yang ditemukan bahwa pelayanan pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan jasa yang dikelola pemerintah tidak memuaskan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan pihak swasta. Gejala ini telah dikemukakan Norman Flyn (1990: 38) bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.
Pergeseran peran Pemda menuju model demokrasi, tentu menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat lokal atas prakarsa sendiri menjadi sangat strategis dan menentukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka terima.
Yang perlu dipahami adalah kualitas pelayanan yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat, dapat dijalankan, mengingat masyarakat Indonesia bersifat majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal: apakah berdasarkan agama, ras, bahasa, geografis, dan kultural. Sebagaimana dikemukakan Hoessein (2001 : 5)
Mengingat kondisi masyarakat lokal beraneka ragam, maka local government dan local autonomy akan beraneka ragam pula. Dengan demikian fungsi desentralisasi (devolusi) untuk mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal juga
akan beraneka ragam. Desentralisasi (devolusi) melahirkan political variety dan structural variety untuk menyalurkan local voice dan local choice.
Mencermati pemikiran tersebut, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam kerangka model demokrasi ini harus benar-benar menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar dari masyarakat setempat.
Melalui wakil-wakilnya, masyarakat dapat menentukan kriteria kualitas pelayanan yang diharapkan di berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, transportasi, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain. Masyarakat dapat menentukan bidang pelayanan yang perlu mendapatkan prioritas; bagaimana cara menentukan prioritas itu; oleh siapa dan dimana pelayanan itu diberikan; bagaimana agar pelayanan efektif, efisien, merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta masih banyak kriteria lain yang perlu dijelaskan. Karena itu penetapan semua kriteria tersebut dalam model demokrasi sangat ditentukan masyarakat itu sendiri.
Hal ini tentu tidak mudah dan sangat tergantung pada perubahan visi, misi, strategi, dan implementasi kebijakan Pemda dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Selama ini terdapat kecenderungan bahwa penentuan kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh pemerintah atau lembaga yang memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan bersama-sama antara provider dengan user, customer, client, atau citizen sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa pelayanan; yang mencerminan demokrasi dan kemandirian.
Padahal pelayanan yang diberikan seharusnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi dalam makna luas; sebagaimana diungkapkan oleh Burns, Hambleton, dan Hogget (1994 : xiv) :
It suggests that change in local government cannot be divorced from wider national and international socio economic forces which shape the context for local political action. Three major reform strategies public services: the extension of market, new managerialism, and the extension of democracy are considered.
Peran Pemda dalam pelayanan publik secara eksplisit mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (pasal 7 ayat 1 UU No 22 tahun 1999).
Dalam pasal 11 ayat 2 dikemukakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan kabupaten dan kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Terkait dengan pasal-pasal tersebut, dalam pasal 9 ayat 1, dikemukakan bahwa kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang tertentu lainnya.
Luasnya cakupan pelayanan publik dalam bidang pemerintahan, sebagaimana dikemukakan di atas, memungkinkan adanya variasi cakupan pelayanan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan pendapat sebelumnya bahwa setiap daerah memiliki kemandirian dalam menentukan pelayanan yang diinginkan.
Dengan demikian, perlu dikaji variasi cakupan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, sehingga dalam jangka panjang dapat dijalankan model pelayanan publik yang ideal, sesuai dengan karakteristik berbagai daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
2. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
-
Mengetahui bidang pelayanan publik yang dilakukan Pemda, termasuk variasi
cakupan pelayanan berdasarkan struktur dan fungsi yang telah ditetapkan.
-
Mengetahui peran Pemda dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, termasuk
menyangkut kewenangan yang melibatkan sektor swasta dan masyarakat.
-
Menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran Pemda dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik, sesuai dengan karakteristik fungsi daerah
yang bersangkutan.
-
Memperoleh gambaran tentang model Pemda dalam melaksanakan fungsi pelayanan
publik, sesuai dengan karakteristik potensi daerah yang bersangkutan.
3. METODOLOGI
Penelitian dilakukan secara proporsional di dua kabupaten dan dua kota di Indonesia, dengan mempertimbangkan heterogenitas daerah, sosial budaya, fisik dan geografis, potensi sumber daya, dan pemerintahan. Daerah contoh penelitian ini adalah Kota Mataram, Kota Malang, Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Sleman.
Data diperoleh melalui dua teknik pengumpulan data utama, yaitu wawancara dan dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap pejabat Pemda yang berkompeten dalam menentukan struktur dan fungsi pemerintahan daerah, dan terhadap pemuka masyarakat atau aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dokumentasi yang dikumpulkan adalah Basis Data Daerah, Daerah dalam Angka, Renstrada, Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Perda tentang Struktur dan Fungsi Pemerintahan Daerah, serta data resmi lainnya.
Analisis kualitatif dilakukan dengan menelaah data, membaginya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesa, mencari pola, dan menemukan apa yang penting untuk dipelajari dan dilaporkan.
Penelitian ini tidak mencakup seluruh aspek dan tingkat penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik. Ada batasan yang dilakukan dan yang tidak dilakukan. Penelitian ini mencakup pelayanan publik yang diselenggarakan oleh dan pada tingkat daerah, bukan oleh pusat dan propinsi.
Selain itu, penelitian ini hanya menyangkut urusan yang diselenggarakan daerah, beserta kajian tentang organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakannya. Kemudian mencakup berbagai faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun faktor tersebut dibatasi pada dimensi ekonomi, pemerintahan, politik, dan sosial.
4. HASIL KAJIAN
Hasil penelitian ini mengungkap bahwa hampir semua kewenangan wajib yang didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat, telah dijalankan Pemda, kecuali dua bidang, yakni pertanahan dan penanaman modal. Meski telah terbit Keputusan Presiden No. 34
tahun 2003 tentang beberapa kewenangan yang dijalankan daerah, Pemda tetap belum menjalankan kewenangan tersebut hingga penelitian ini berlangsung. Sebab, Pemda ragu- ragu menjalankan kewenangan itu, meski terdapat Perda yang menaungi urusan tersebut.
Tabel 1 berikut menggambarkan kewenangan wajib yang sudah dan belum diselenggarakan oleh daerah.
Tabel 1.
Penyelenggaraan Kewenangan Wajib Daerah
KEWENANGAN WAJIB YANG KEWENANGAN WAJIB YANG BELUM DIJALANKAN DAERAH DIJALANKAN DAERAH
|
1. Pertanahan |
Sumber : Data Sekunder diolah, 2003
Berkenaan dengan berbagai urusan di luar kewenangan wajib, sebagaimana diamanatkan pasal 11 UU no 22 tahun 1999, maka terdapat variasi tentang urusan yang diselenggarakan oleh daerah. Variasi ini disebabkan berbagai faktor yang dipertimbangkan, seperti efisiensi, dan kemampuan daerah.
Selain kedua faktor tersebut, ada faktor lain yang juga bersifat inward looking bagi birokrasi, yakni pertimbangan yang disebut para pejabat Pemda sebagai pertimbangan kemanusiaan, karena maksudnya untuk menampung pejabat birokrasi limpahan dari pemerintah pusat ke daerah. Para pejabat tersebut diberi posisi setara dengan posisi sebelumnya. Akibatnya urusan yang diselenggarakan Pemda dikaitkan dengan komposisi perangkat daerah yang dibentuk.
Tabel 2 menunjukkan variasi kewenangan lain yang diselenggarakan oleh daerah.
Berikutnya, hasil penelitian melukiskan bagaimana Pemda menyusun struktur kelembagaan perangkat daerah untuk menyelenggarakan beragam kewenangan di atas. Terdapat variasi mengenai hal ini, baik dari segi jumlah maupun jenis.
Dari segi jumlah, perbedaan mencolok terjadi dalam penyusunan dinas daerah. Ada daerah yang membentuk 18 dinas, sementara daerah lainnya justru membentuk tujuh dinas. Ada satu kewenangan wajib yang dijalankan tiga dinas, sementara daerah lain satu dinas menjalankan beberapa kewenangan wajib. Perbedaan ini disebabkan oleh motif pembentukan dinas daerah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dalam penyusunan lembaga teknis daerah, baik yang berupa badan maupun kantor, tidak terdapat perbedaan mencolok dari segi jumlah.
Tabel 2.
Variasi Penyelenggaraan Kewenangan Tambahan oleh Pemerintah Daerah
SUMENEP SLEMAN MATARAM MALANG
Kehutanan |
Kehutanan Perkebunan Transmigrasi Pariwisata Penerangan |
Kepariwisataan Penerangan Sosial Kependudukan Pertambangan-
Energi |
Usaha Kecil Pariwisata Informasi-Komunikasi Kependudukan Ketertiban Perpustakaan |
Kebersihan Air Bersih |
Penataan Ruang Permukiman |
Tata Kota
Permukiman
Kebersihan |
Sumber : Data Sekunder diolah, 2003
Dari segi jenisnya, terdapat sedikit kerancuan dalam penyusunan perangkat daerah. Dinas daerah yang merupakan unsur pelaksana Pemda dan mempunyai tugas menjalankan kewenangan tertentu, tampak telah menjalankan tugas pokok dan fungsi yang sesuai. Namun, lembaga teknis daerah yang merupakan unsur penunjang Pemda sebagai manifestasi fungsi technostructure birokrasi, dalam beberapa hal juga menjalankan fungsi yang bersifat pelaksana kewenangan tertentu Pemda.
Hal yang sama terjadi pada komponen struktur sekretariat daerah yang merupakan unsur staf Pemda sebagai pengejawantahan supporting staff dari sosok birokrasi secara keseluruhan. Dalam beberapa hal, sekretariat daerah juga menjalankan kewenangan yang bersifat pelaksana kewenangan tertentu Pemda. Kerancuan ini disebabkan oleh pertimbangan upaya pembedaan eseloneering penyelenggaraan kewenangan tertentu daerah. Pembedaan eseloneering dimaksud sebagai upaya membedakan struktur perangkat daerah yang memiliki beban kerja yang berbeda antar kewenangan yang hendak dijalankan daerah tersebut.
Kemudian hasil penelitian menyangkut peran Pemda dalam penyelenggaraan layanan publik, di antaranya dapat disimak dari Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) perangkat daerah yang disusun oleh pemerintah daerah. Semua daerah contoh penelitian telah menuangkan Tupoksi dalam bentuk peraturan daerah, meski terdapat variasi yang menyangkut susunan rincinya.
Dari seluruh peraturan daerah yang mengatur kewenangan daerah dan penjabarannya dalam struktur perangkat daerah, dapat dinyatakan bahwa hampir semua daerah berusaha mempergunakan instrumen kebijakan yang bersifat wajib dalam memberikan layanan publik kepada masyarakat.
Ada kecenderungan kuat Pemda untuk menggunakan instrumen penyediaan layanan langsung (direct provision). Hampir tiap dinas, sejauh mungkin dilengkapi dengan perangkat aturan, yang memungkinkannya menjalankan penyediaan layanan publik. Terdapat kecenderungan kuat, Pemda menyelenggarakan sendiri bidang pendidikan, kesehatan, informasi, kependudukan, dan pekerjaan umum.
Pada bidang lainnya, digunakan instrumen kebijakan wajib yang lain, seperti regulasi. Hampir semua bidang dilengkapi dengan perangkat peraturan yang memungkinkan Pemda melakukan regulasi pelayanan publik.
Anek perijinan di berbagai bidang, telah menjadi instrumen kebijakan pelayanan publik dalam pemerintahan daerah. Segala macam perijinan ini, secara formal diungkap narasumber penelitian, untuk memberi pelayanan lebih baik kepada masyarakat, sekaligus digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan penghasilan asli daerah (PAD).
Selain menggunakan direct service provision dan regulasi, Pemda juga menggunakan instrumen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memberi layanan kepada masyarakat.
Kecuali Kota Mataram, semua daerah contoh penelitian memiliki BUMD terutama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Pelayanan air minum di Kota Mataram dilakukan melalui kerjasama dengan Pemda Kabupaten Lombok Barat, yang sejak lama telah menyediakan layanan air bersih kepada masyarakat Mataram. Pelayanan ini diberikan sejak Mataram masih berstatus kecamatan, kemudian berkembang menjadi Kota Administratif Mataram, yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lombok Barat.
Sejak Mataram berubah status menjadi kota, pelayanan air minum juga masih ditangani PDAM Kabupaten Lombok Barat. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pelayanan air minum di Kota Mataram masih ditangani oleh sektor publik, seperti halnya daerah lain yang memiliki PDAM Sendiri.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sektor publik masih kuat dibandingkan sektor swasta dalam menyediakan layanan kepada masyarakat. Pemda secara intensif dan ekstensif masih menggunakan instrumen wajib dalam berbagai bidang pemerintahan. Intensif dalam pengertian penggunaan instrumen tersebut semakin diperkuat dalam urusan-urusan yang ditangani. Ekstensif dalam arti Pemda berusaha memperluas ruang lingkup penggunaan instrumen wajib tersebut, dalam otonomi daerah.
Penggunaan secara ekstensif instrumen sektor publik ini diperkuat oleh motif peningkatan PAD melalui perangkat daerah. Indikasi lain dari kuatnya sektor publik ini, tampak dari motif penyusunan organisasi perangkat daerah yang lebih berorientasi pada inward looking. Orientasi ini berarti sebuah upaya mengedepankan pemenuhan kebutuhan internal birokrasi lokal atau perangkat daerah, ketimbang orientasi pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik.
Selain itu, ada kesan dari narasumber bahwa penggunaan instrumen wajib akan dikembangkan lagi, sehingga peran Pemda akan lebih besar di masa mendatang. Beberapa hal yang masih diatur dan diurus masyarakat atau sektor swasta, bukan karena
Pemda menyerahkan sektor tersebut, melainkan karena keterbatasan Pemda untuk menjangkaunya. Jika kemampuan Pemda meningkat ada keinginan untuk mengambilalih urusan yang masih dipegang sektor swasta atau masyarakat.
Hasil penelitian selanjutnya adalah mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah, utamanya yang berkaitan dengan penyediaan pelayanan publik di daerah. Keberadaan faktor-faktor tersebut, dapat dijadikan landasan bagi penempatan model penyediaan pelayanan publik di daerah yang dijalankan oleh daerah-daerah di Indonesia. Keberadaan beberapa faktor ini, sekaligus dapat dijadikan dasar bagi pengembangan model alternatif.
Dari dimensi ekonomi, dapat diketahui bahwa sektor publik lebih mendominasi penyediaan layanan publik di daerah, dibanding sektor pasar (strong public sector). Hal ini tidak berarti bahwa keberadaan sektor pasar tidak ada sama sekali, namun perannya kalah dominan dibandingkan sektor publik. Selain itu, terdapat kecenderungan makin kuatnya sektor publik, diikuti dengan motivasi pejabat daerah yang lebih mengedepankan sektor ini.
Dari dimensi pemerintahan, dapat dikatakan bahwa Pemda memiliki peran kuat dalam penyediaan layanan publik (strong local government). Hal ini dapat dipastikan dari berbagai indikator, seperti luasnya fungsi yang diemban daerah karena menganut general competence principle. Indikator lainnya adalah cara penyediaan layanan publik yang bersifat positif, atau kuatnya inisiatif pemerintah dalam penyediaan layanan publik. Indikator berikutnya adalah derajat otonomi yang kuat, ditandai dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus sendiri setiap fungsi yang diemban. Sedangkan Indikator terakhir adalah derajat kontrol pemerintah pusat yang rendah, karena menggunakan cara represif.
Ditinjau dari dimensi politik, dapat diketahui bahwa penyelenggaraan demokrasi dalam pemerintahan di daerah, mempergunakan cara demokrasi perwakilan. Ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pemerintahan secara intensif tidak dijalankan secara langsung oleh masyarakat sebagai stakeholder utama pemerintahan daerah, tetapi dijalankan wakil masyarakat yang dipilih setiap lima tahun sekali. Wakil masyarakat ini terdiri dari dua organ, yakni wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan tugas utama menjalan hak mengatur daerah (policy making); dan wakil rakyat yang duduk sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tugas utamanya mengatur dan mengurus. Mengurus berarti memimpin perangkat daerah untuk menjalankan kebijakan yang sudah dibuat.
Tabel 3
Faktor yang Mempengaruhi Pemerintahan Daerah
DIMENSI EKONOMI
DIMENSI PEMERINTAHAN
DIMENSI POLITIK
Fungsi Yang Diemban
Cara Pemerintahan
Derajat Otonomi
Kontrol Pemerintah Pusat
Dominasi Sektor Publik
Otonomi Seluas-luasnya
Cara Positif
Tinggi (Mengatur dan Mengurus)
Represif
Demokrasi Perwakilan
Lebih jelasnya dapat disimak tabel di atas yang berisi ringkasan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi cara pemerintah menyediakan layanan publik kepada masyarakat. Dengan mengacu pada kerangka model pemerintahan daerah yang disusun Leach, Stewart & Walsh (1994), sebagaimana dijelaskan dalam tinjauan pustaka sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa model pemerintahan daerah yang dijalankan di daerah contoh penelitian lebih menyerupai traditional authocratic bureaucracy.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam model sekarang, peran Pemda lebih mendominasi penyediaan layanan publik, dibanding peran sektor lain di daerah. Sebenarnya sektor lain tersebut, baik masyarakat maupun pasar (swasta), juga memiliki potensi yang sama besarnya. Sektor lain ini seharusnya terus ditumbuhkan, tidak sebaliknya justru dihilangkan, karena keterbatasan Pemda untuk memberi layanan publik kepada masyarakat.
Kebutuhan masyarakat terus berkembang, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan tidak akan dapat dipenuhi sepenuhnya oleh Pemda. Oleh karena itu, seyogianya Pemda memikirkan alternatif yang mendukung berkembangnya sektor lain di luar Pemda, dalam memberi layanan publik.
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan agar lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan lebih cepat dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional dianggap tidak lagi memadai. Diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, serta merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Alternatif model yang dapat dijalankan Pemda dalam waktu dekat adalah pilihan antara community enabling authority atau market enabling authority. Model residual enabling seperti banyak diusulkan negara-negara maju, tampaknya bukan pilihan layak, jika mempertimbangkan kondisi sekarang. Model residual enabling ini menempatkan Pemda sebagai penyelenggara layanan publik, yang sama sekali tidak dapat dilaksanakan sektor lain di luar Pemda. Perubahan menuju alternatif terakhir itu terasa terlalu cepat dan mendasar, sehingga akan menimbulkan gejolak dan ketersendatan pemerintahan di daerah.
Pilihan terhadap model market-oriented enabling authority tampaknya lebih sesuai bagi di kota-kota yang sebagian besar wilayahnya bercorak perkotaan. Di wilayah perkotaan telah berkembang mekanisme pasar, maka lebih mungkin menyediakan layanan yang didominasi oleh sektor swasta. Dengan demikian, peran Pemda dalam penyediaan layanan publik, lebih dipermudah lantaran sektor swasta menguat.
The market-oriented enabling authority merupakan kombinasi dari penekanan pada strong market, dengan peran Pemda yang kuat, disertai penekanan pada demokrasi partisipatif. Seperti model residual authority, model ini mengutamakan pasar dalam urusan pemerintah daerah, namun berbeda dalam starting-pointnya.
Pemda mempunyai peran kuat dan aktif dalam menentukan masa depan perekenomian di wilayahnya. Ia dipandang sebagai badan koordinasi dan perencanaan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah, dengan menyediakan mekanisme dan insentif sehingga perekonomian dapat berkembang.
Hubungan antara Pemda dengan agen-agen perekonomian daerah, dilihat sebagai proses dua arah. Tanggung jawab sosial ditekankan, dan kesepakatan perencanaan antara pengembang dan Pemda ditegaskan serta dinegosiasikan secara aktif.
Peran Pemda adalah memberanikan dan mendukung perusahaan swasta. Upaya-upaya yang dilakukan adalah dengan menegosiasikan kontrak yang memberikan manfaat maksimal bagi Pemda. Peran utamanya justru terletak pada titik sentral dalam suatu jaringan eksternal, terutama sektor swasta, dalam menyediakan barang dan memberikan layanan publik.
Sementara itu, pilihan terhadap model community-oriented enabling authority tampaknya lebih sesuai dengan kabupaten, yang sebagian besar wilayahnya bercorak pedesaan. Hal ini disebabkan oleh masih berkembangnya kondisi sosial yang lebih guyub, sehingga mekanisme altruisme masih berjalan dalam menyediakan banyak kebutuhan masyarakat.
Pilihan terhadap model ini tidak berarti menafikan sama sekali mekanisme pasar dan pemerintah, tetapi keberadaan instrumen masyarakat menjadi lebih dominan dibandingkan dengan sektor lainnya.
The community-oriented enabling authority, merupakan gabungan dari penekanan pada demokrasi partisipatif yang kuat, setidak-tidaknya ada di posisi tengah dalam hubungannya dengan weak or strong local governance, serta penekanan antara sektor publik dan pasar. Tujuan utamanya adalah memenuhi kebutuhan penduduk yang beragam, dengan menggunakan saluran penyediaan layanan apa saja (apakah itu penyediaan langsung pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba, atau sekedar pengaruh belaka) yang dipandang paling tepat.
Penekanannya pada kebutuhan kolektif, ketimbang perseorangan, pada penduduk daerah yang memiliki peran sebagai konsumen maupun pelanggan. Model ini berimplikasi pada tuntutan adanya participatory democracy dan community accountability. Pemda dituntut untuk outward-looking. Pada prinsipnya, model terakhir ini dapat berjalan baik dalam Pemda yang kuat maupun lemah, atau dalam sektor publik yang kuat, maupun pasar yang kuat.
Melalui model pilihan alternatif ini, terdapat peluang bagi Pemda untuk tetap secara efektif menyediakan pelayanan atas perkembangan kebutuhan masyarakat, yang terus meningkat dan melebihi kemampuan Pemda mengimbanginya. Pilihan mekanisme masyarakat bagi daerah kabupaten dan mekanisme pasar bagi masyarakat daerah kota.