STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Oleh : Gunawan Sumodiningrat
PENDAHULUAN
Pujian dari World Bank yang menjuluki bangsa Indonesia sebagai newly industrializing economy dan miracle economy country seakan “pudar”begitu saja, setelah kita pada tahun 1997 lalu dihantam badai krisis moneter. Dan krisis moneter yang terjadi itu ternyata tidak berhenti, bahkan semakin menggelinding, bagai sebuah “bolasalju”,yang berubah menjadi sebuah krisis multi dimensi, yang sampai sekarang masih kita alami.
Di tengah-tengah upaya recovery perekonomian negara atas krisis ekonomi tersebut di atas terbersit wacana tentang perlunya digulirkan proses desentralisasi pembangunan, yang didefinisikan sebagai proses pelimpahan kewenangan-kewenangan pengambilan keputusan dan pembiayaan pembangunan dari pusat ke daerah. Wacana itu muncul seiring dengan munculnya kesadaran dalam konteks ekonomi, dimana wacana otonomi daerah dapat membawa dampak positif antara lain harapan untuk menurunnya distorsi ekonomi, perbaikan akuntabilitas kepada masyarakat lokal, serta meningkatnya mobilisasi dana di daerah.
Wacana otonomi daerah tersebut akhirnya memang tidak berhenti hanya sebagai retorika. Terbukti sejak 1 Januari 2001 lalu Pemerintah telah memberlakukan Undang- undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, disadari atau tidak, Indonesia telah mengalami perubahan sistem kepemerintahan yang sangat signifikan. Mengingat awal millenium ketiga itu merupakan momentum awal bagi pemberlakuan paradigma tata pemerintahan baru yaitu pelaksanaan otonomi daerah1.
Terlepas dari segala kekurangannnya, haruslah diakui bahwa kedua UU itu telah menjadi tonggak awal pelaksanaan desentralisasi pemerintahan Indonesia. Undang- undang tersebut memuat aturan baru yang menekankan penyelenggaraan otonomi daerah atas dasar prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
Bentuk komitmen pemerintah pusat dalam mendukung desentralisasi itu dapat dilihat dalam bentuk pemangkasan berbagai kewenangannya di daerah, kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain2. Dengan kata lain, pada saat itu pula pemerintah daerah sudah dapat melakukan inisiatif mengatur dirinya sendiri. Esensi dari pelaksanaan
1
2
Pada hakekatnya ada tiga prinsip dalam implementasi otonomi daerah. Pertama, desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada kabupaten dan kota sehingga otonomi daerah lebih dititikberatkan pada daerah tersebut (kabupaten dan kota). Kedua, dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di provinsi. Ketiga, tugas pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, dan desa untuk melakukan tugas tertentu. Seiring dengan pembagian kewenangan itu diikuti pula dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Kewenangan bidang lain itu mencakup perencanaan nasional, dan pengendalaian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam, serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
otonomi daerah itu sendiri memang diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
Melihat realita adanya perubahan orientasi pembangunan nasional yang mengedepankan pemantapan otonomi daerah serta menyadari kondisi dan potensi masyarakat Indonesia yang heterogen maka strategi pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan sebagai media stimulan untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan.
PERMASALAHAN KEMISKINAN DAN KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT
Tantangan bangsa Indonesia di era otonomi daerah ini tidaklah ringan mengingat ada semacam fenomena dimana sementara bangsa-bangsa lain sudah saling berkompetisi untuk terus maju dalam rangka meningkatkan daya saingnya, bangsa kita justru terpuruk dalam pembenahan masalah-masalah ekonomi, sosial maupun politik di dalam negeri. Dibalik itu semua ada permasalahan yang paling mendesak untuk dicari pemecahannya saat ini adalah masalah kemiskinan. Mengingat permasalahan kemiskinan ini seakan beranjak di tempat terlebih bila kita melihat kondisi kemiskinan bangsa Indonesia terkini. Terungkap dari kajian terbaru dari Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa kemiskinan di negara kita bukan sekadar 10-20% penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut (extreme poverty). Tapi ada kenyataan lain yang membuktikan bahwa kurang lebih tiga per lima atau 60%3 penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan.
Kondisi di atas jelas memprihatinkan mengingat realita kemiskinan di atas jelas bukanlah permasalahan yang mudah diatasi mengingat kondisi kemiskinan yang harus ditanggulangi mencakup banyak segi. Pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang terbatas dan ketidaksamaan kesempatan dalam menghasilkan akan menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan tidak merata. Ini semua pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan selanjutnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Secara umum permasalahan kemiskinan dan ketidakberdayaan disebabkan oleh dua faktor utama yang saling mengkait satu sama lain, yaitu : Faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut permasalahan dan kendala yang berasal dari dalam individu atau masyarakat miskin yang bersangkutan, seperti : rendahnya motivasi, minimnya modal, lemahnya penguasaan aspek manajemen dan teknologi. Sementara faktor eksternal penyebab kemiskinan dan ketidakberdayaan adalah belum kondusifnya aspek kelembagaan yang ada. Disamping masih minimnya infrastruktur dan daya dukung lainnya sehingga potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat tidak dapat ditumbuhkembangkan.
Berpijak pada logika penyebab kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat itu maka strategi pemberdayaan masyarakat yang kita terapkan harus menyentuh permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik pada sisi internal maupun eksternal. Para pelaku pembangunan dituntut untuk secara konsisten dan
3 Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan ini dalam posisi sangat rentan, baik dari sisi pendapatan maupun sosial, termasuk tak adanya akses ke pendidikan, kesehatan dan ancaman mengalami kurang gizi (malnutrition). Definisi penduduk di bawah garis kemiskinan yang dipakai oleh Bank Dunia ini mengikuti pada definisi kemiskinan berdasarkan standar internasional, yakni mereka yang menyandarkan hidupnya pada pendapatan kurang dari 2 dollar per hari (setara Rp 20.000 dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS), dikutip dari Harian KOMPAS, 8 November 2001
berkesinambungan menciptakan dan membina kebersamaan sehingga dampaknya bukan hanya pada pemberdayaan posisi masyarakat lapisan bawah namun lebih jauh juga pada penguatan sendi-sendi perekonomian negara secara keseluruhan.
PENGENDALIAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Kita harus sadari bahwa upaya pemulihan ekonomi bangsa (khususnya masalah kemiskinan) memang butuh waktu yang tidak sebentar dan formulasi ataupun strategi kebijakan pemulihan ekonomi pun harus dilakukan dengan pendekatan multi dimensi. Pendekatan yang dimaksud adalah upaya-upaya yang berorientasi pada penciptaan kebijakan ekonomi yang kondusif, kestabilan politik dan keamanan serta masalah kepastian hukum. Dengan kata lain upaya penciptaan kebijakan-kebijakan ekonomi kondusif hanya merupakan salah satu faktor pendukung upaya pemulihan ekonomi tadi.
Berbicara tentang perlunya kebijakan ekonomi yang kondusif tersebut maka kita mau tak mau harus mengkaji salah satu variabelnya yaitu tentang sampai dimana tingkat pengendalian pelaksanaan pembangunan yang ada sehingga kita dapat lebih mengefektifkan tercapainya sasaran program pembangunan yang sedang ataupun akan dijalankan oleh pemerintah. Dengan kata lain ada semacam tuntutan bagaimana menciptakan sistem pengendalian pembangunan yang ada dapat difungsikan untuk meminimalisir deviasi antara misi makro pembangunan nasional dengan operasionalisasi program pembangunan yang selama ini terjadi di lapangan.
Dalam kaitannya dengan upaya mengkaji sistem pengendalian pembangunan nasional ini mau tak mau kita perlu menelaah terlebih dahulu sampai dimana prinsip pedoman pelaksanaan pembangunan yang berlaku sekarang. Sebagaimana yang telah digariskan bahwa pelaksanaan pembangunan didasarkan pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Arah perjalanan bangsa (sampai dengan tahun 2004) telah ditetapkan dalam GBHN 1999-2004. Pelaksanaan lebih lanjut GBHN dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Propenas merupakan rencana pembangunan yang berskala nasional serta merupakan konsensus dan komitmen bersama masyarakat Indonesia mengenai pencapaian visi dan misi bangsa4. Dengan demikian, fungsi Propenas adalah untuk menyatukan pandangan dan derap langkah seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan prioritas pembangunan selama lima tahun ke depan.
Secara operasionalisasi Propenas kemudian diturunkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) untuk melaksanakan pembangunan jangka pendek satu tahun. Repeta dituangkan dalam APBN, APBN diturunkan dalam bentuk program, program disusun dalam bentuk proyek dan proyek diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Seiring dengan semangat otonomi daerah maka dengan mengacu pada Propenas, daerah juga membuat Program Pembangunan Daerah (Propeda) yang kemudian diturunkan lagi dalam bentuk Repetada.
4 Lihat TAP MPR RI No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, Bab II, Subbab A, Visi GBHN 1999/2004 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, GBHN menetapkan misi yang merupakan sasaran pembangunan nasional. Salah satu misi GBHN adalah terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
Dari acuan ataupun pedoman pelaksanaan pembangunan yang ada seperti di atas, jelas tersirat bahwa ada esensi krusial dari keberadaaan Propenas mengingat dapat difungsikan sebagai salah satu mediator bagi upaya untuk mempertajam arah pembangunan menuju tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia.
PENGENDALIAN PROPENAS ATAS TERLAKSANANYA STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI KERAKYATAN
Relevansi Propenas dengan penajaman strategi pemberdayaan masyarakat amatlah menarik untuk disimak karena bagaimanapun Propenas 1999-2004 dibuat dengan mengacu pada aspek pemberdayaan, desentralisasi, dan perubahan struktur sosial ekonomi secara terus menerus. Pengendalian tersebut ditujukan pada pembangunan ekonomi kerakyatan yang berprinsip partisipatif yaitu kegiatan ekonomi dilaksanakan untuk, dari, dan oleh rakyat.
Konteks pengendalian ini mencerminkan adanya tuntutan konsistensi cara pandang dari masing-masing pedoman pelaksanaan pembangunan tersebut. Pengalaman telah memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa masih ada celah dalam sistem pengendalian pembangunan nasional kita. Salah satunya dalam konteks perencanaan dimana pendekatan perencanaan nasional selama ini lebih berorientasi pada permasalahan makro ekonomi tanpa diikuti dengan perencanaan mikrosektoral yang matang dan baik.
Kesenjangan persepsi antara konteks makro dan mikro seperti di atas ternyata memang terjadi, terbukti bahwa ternyata pengalaman pembangunan yang telah kita laksanakan selama ini tidak mampu mewujudkan fundamental ekonomi yang kuat seperti yang kita harapkan. Realita permasalahan di atas bagaimanapun perlu mendapat perhatian serius karena ekses dari kesenjangan persepsi itu akan menyebabkan terjadinya bias antara konsepsi program dengan pelaksanaan program di lapangan. Dan ini bila dikaji lebih jauh akan semakin menjauhkan esensi program pembangunan terhadap upaya menuju ke arah proses pemulihan ekonomi. Dari gambaran realita itulah maka keberadaan Propenas dibutuhkan untuk mengurangi kesenjangan persepsi antara visi makro dan visi mikro yang ada.
Tak dapat dipungkiri bahwa esensi keberadaan Propenas tak lain sebagai suatu uraian lebih lanjut dari GBHN. Jadi misi dari Propenas sendiri adalah seiring dengan misi GBHN yang salah satunya adalah terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan5. Dalam rangka menajamkan arah pembangunan nasional pada
5 Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Sistem ekonomi kerakyatan mencakup administrasi pembangunan nasional mulai dari sistem perencanaan hingga pemantauan dan pelaporan. Sesungguhnya ekonomi kerakyatan adalah demokrsi ekonomi yang dikembangkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 33 besertapenjelasannyayangmenyatakan“Dalam pasal33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yangsesuaidenganituialahkoperasi... Perekonomianberdasaratasdemokrasiekonomi,kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorangyangberkuasadanrakyatyangbanyakditindasnya...”.Lihatdalam Gunawan Sumodiningrat, “PemberdayanMasyarakatdanJaringPengamanSosial”, PT Gramedia, Jakarta, 1999. hlm.70.
pengembangan ekonomi rakyat tersebut maka kita perlu mengkaji esensi Propenas sebagai media pengendalian pembangunan nasional. Tak dapat dipungkiri bahwa Propenas mempunyai kedudukan yang signifikan dalam sistem pengendalian pembangunan nasional. Hakekat dari pengendalian Propenas sendiri adalah pengendalian APBN dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mendudukan masyarakat sebagai subyek pembangunan dan pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunan.
Dibalik itu semua sebenarnya Propenas dapat lebih dioptimalkan sebagai bagian dari sistem pengendalian pembangunan nasional dengan memanfaatkan teknologi yang dapat memantau tentang data, proses maupun hasil dari pembangunan nasional yang telah maupun yang sudah dijalankan. Teknologi yang dimaksud adalah dengan cara mengembangkan sistem informasi geografis (SIG). SIG ini diharapkan dapat berperan dalam pemantauan, pengendalian, dan evaluasi atas kebijakan program pembangunan pemerintah. Disamping itu dapat difungsikan untuk melakukan pemetaan (mapping) atas potensi, permasalahan dan sekaligus pemberian alternatif solusi atas permasalahan yang ada.
Dari kesemuanya itu pemerintah sebagai pembuat kebijakan program sekaligus fasilitator pembangunan akan lebih mudah untuk membuat evaluasi sekaligus penajaman sasaran program, dalam bentuk :
-
siapa saja yang menjadi sasaran program
-
lokasi dimana program itu akan dilaksanakan
-
penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dijalankan untuk mewujudkan
tujuan program
-
penentuan kebutuhan dana minimal agar program dapat dijalankan, dan
-
bagaimana sebaiknya program itu diimplementasikan..
KONSEPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Konsepsi pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Hakikat dari konseptualisasi pemberdayaan berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Secara tersirat pemberdayaan memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang dilandasi dengan penerapan aspek demokratis, partisipasi dengan titik fokusnya pada lokalitas, sebab masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui issue-issue lokal, seperti yang dinyatakan oleh Anthony Bebbington, yaitu:
Empowerment is a process through which those excluded are able to participate more fully in decisions about forms of growth, strategies of development, and distribution of their product. 6
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
6 Anthony Bebbington, Development is more than just growth, Development Outreach, Volume two, number three, Summer 2000
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan pranata-pranatanya7.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,
7 SalahsatukesimpulanLaporanPembangunanDunia2002bertajuk“MembangunLembagaPendukung Pasar”yangdirilisBankDunia(Oktober2001)adalahadanyasejumlah kelemahan struktural yang masih menjadi kendala utama pembangunan di negara sedang berkembang. Kelemahan struktural itu antara lain lemahnya kelembagaan pemerintah, ketidakpastian hukum, lembaga peradilan yang korup, sistem kredit yang bias, serta proses perijinan yang berbelit. Hal ini yang menyebabkan proses pembangunan di negara sedang berkembang (NSB) terhambat. Bila NSB dapat mengatasi kendala tadi mereka bisa meningkatkan pendapatannya secara drastis dan mengurani kemiskinan. Tentunya harus sistematis dengan membentuk lembaga-lembaga baru sesuai kebutuhan masyarakat. Dikutip dari Harian Media Indonesia, 12 November 2001.
serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut merupakan suatu konsekuensi dari pergeseran paradigma pembangunan nasional yang mengarah kepada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Perubahan paradigma pembangunan tersebut mau tak mau menuntut adanya perubahan strategi pembangunan yang top-down ke pembangunan yang bottom-up yaitu dengan memberikan kesempatan dan akses yang sama kepada masyarakat melalui kebijakan pemihakan dan pemberdayaan (demokratisasi pembangunan). Bertitik tolak dari itu maka sebenarnya tak salah bila kita me-review salah satu program pembangunan yang bernama Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
PPK merupakan program pemerintah yang telah dioperasionalkan sejak tahun anggaran 1998/1999 dengan cakupan pelaksanaan di hampir seluruh propinsi di Indonesia. PPK dirancang sebagai bagian dari program pembangunan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan khususnya di wilayah perdesaan. Program diimplementasikan melalui pengelolaan di tingkat kecamatan dalam bentuk pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan penyediaan prasarana dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi, yang kesemuanya itu diarahkan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building investment).
Strategi pemberdayaan masyarakat dalam bantuan PPK ini diwujudkan dalam bentuk : 1) partisipasi masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan melestarikan pembangu-nan ; 2) pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk memilih kegiatan yang dibutuhkan ; 3) pemihakan pada penduduk miskin ; 4) pemberian akses informasi kepada setiap penduduk desa mengenai peluang, kebebasan memilih, dan memutuskan ; 5) penciptaan suasana kompetisi yang sehat dalam pengajuan usulan kegiatan ; 6) penerapan teknologi tepat guna dan padat karya ; dan 7) penggalakkan swadaya masyarakat dalam pelaksanaan dan pelestarian pembangunan.
Khusus berbicara tentang pemberian bantuan langsung dana bergulir (revolving block grant) maka dalam PPK telah diciptakan mekanisme perguliran dana itu melalui wadah/lembaga keuangan milik masyarakat yang disebut unit pengelola keuangan (UPK). UPK merupakan institusi pengelola dana yang dibentuk di kecamatan yang mempunyai peranan untuk memfasilitasi program dana bergulir yang berputar di masyarakat. UPK pada nantinya diharapkan dapat berkembang menjadi lembaga keuangan alternatif milik masyarakat (LKM) yang tumbuh dari masyarakat sendiri. LKM ini merupakan embrio lahirnya lembaga keuangan yang mengikuti prinsip-prinsip perbankan dan di dalam penyelenggarannya menerapkan prinsip kebersamaan (kooperatif).
Diharapkan nantinya UPK ini dapat berperan sebagai lembaga keuangan milik masyarakat yang dapat menampung dan mengelola berbagai program pembangunan yang masuk ke daerah. Sehingga berbagai program pembangunan yang masuk ke daerah, dananya dapat langsung dikontrol dengan mudah oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian kebocoran-kebocoran dana bantuan program pembangunan dapat
diminimalisir bahkan dapat dihilangkan. Kontrol publik ini merupakan upaya yang sangat efektif dalam mengantisipasi segala kemungkinan kebocoran dalam pengelolaan program-program pembangunan di daerah.
Dalam konsepsi normatifnya, lembaga UPK ini dapat diarahkan dalam berbagai model pengembangan kooperatif, yaitu : a) pengembangan lembaga kredit mikro, b) pengembangan UKM dan industri kecil yang berjiwa koperasi, c) pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, dan d) usaha ekonomi produktif lainnya sesuai potensi dan kemampuan masyarakat lokal.
a. Pengembangan Lembaga Kredit Mikro
Wadah UPK sebagai lembaga kredit mikro di tingkat kecamatan disadari masih dapat dioptimalkan perannya sebagai katalis pemberdayaan ekonomi masyarakat lapisan bawah. Sehubungan dengan itu perlu ada semacam reformulasi lembaga keuangan UPK dalam upaya optimalisasi peran fasilitator kredit kepada masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain UPK perlu dipersiapkan sebagai lembaga pengelola seluruh dana bantuan yang masuk ke desa melalui koordinasi kecamatan.
Upaya peningkatan efektivitas lembaga UPK tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berikut : Pertama, kaidah tepat sasaran (targetting). Bahwa penentuan sasaran harus tepat sasaran penerima (terarah pada kelompok penduduk miskin yang paling memerlukan), tepat sasaran lokasi (kawasan/wilayah), tepat sasaran alokasi (dana) dan tepat sasaran kegiatan (kegiatan ekonomi). Kedua, kaidah penyaluran (delivering), dimana penyaluran bantuan harus menggunakan mekanisme yang cepat lancar (quick disbursement), tepat waktu (on time), langsung kepada POKMAS (direct grant), utuh tunai (fully cash money), tatacara sederhana (simple procedure), terbuka (transparent), dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Ketiga, kaidah penggunaan (receiving). Bahwa penggunaan dana harus dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota pokmas. Keempat, kaidah perguliran (revolving). Pengertian dana bergulir pada dasarnya adalah bahwa dana tersebut harus tetap berada dan digunakan untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat desa setempat secara berkelanjutan. Dengan kata lain bantuan untuk kegiatan ekonomi yang bersifat pinjaman kepada masyarakat itu harus dikembalikan beserta jasa pinjamannya. Pengembalian pinjaman ini tidak dibayarkan kepada kas negara tetapi dibayarkan kepada UPK, untuk kemudian digulirkan kembali kepada masyarakat di kecamatan yang sama. Secara tersirat ada semacam misi bahwa bantuan harus dipandang sebagai stimulan (modal) untuk mendanai kegiatan ekonomi produktif yang dapat menumbuhkan (creating) dan meningkatkan (generating) kegiatan ekonomi secara berkelanjutan.
Disamping itu kita melihat bahwa karakteristik yang melekat pada UPK memudahkan kita untuk mengarahkan UPK sebagai lembaga keuangan yang secara riil mengakar, membumi dan selalu berorientasi pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Lembaga keuangan yang muncul dari prakarsa rakyat, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri itu tentunya diharapkan relatif mudah untuk dilestarikan dan ditumbuhkembangkan seiring dengan dinamika ekonomi masyarakat bersangkutan.
Dengan melakukan pembenahan dan revitalisasi fungsi dan peranan UPK seperti di atas maka secara kelembagaan UPK dapat difungsikan sebagai lembaga kredit mikro yang secara mengalir dapat mengarah ke skenario perguliran berikut : (1) terjadinya pemupukan dana sebagai modal usaha di tingkat kecamatan dan desa, (2) tersedianya
dana abadi yang mudah dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat miskin, di tingkat kecamatan dan desa, (3) berkembangnya kegiatan ekonomi produktif pokmas, (4) berkembangnya kegiatan ekonomi produktif masyarakat lokal, (5) meningkatnya peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan pemanfaatan dana sebagai modal usaha, (6) meningkatnya kemampuan kapasitas masyarakat di tingkat kecamatan dan desa dalam pengelolaan keuangan, (7) meningkatnya kebutuhan masyarakat lokal terhadap uang sehingga UPK mampu berkembang sebagai lembaga perantara yang menyediakan dana murah bagi masyarkat lokal untuk mengembangkan dan menciptakan kegiatan ekonomi produktif lebih lanjut.
Dengan asumsi bahwa arah perguliran itu dapat berjalan sebagaimana mestinya maka lembaga dana perdesaan yang dikoordinasi di kecamatan ini dalam jangka panjang dapat menjadi dasar yang kuat bagi terwujudnya proses monetisasi (moneterisasi) di perdesaan dan meningkat ke tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan akhirnya menjadi dasar transformasi dalam sistem keuangan nasional.
b. Pengembangan UKM dan Industri Kecil yang Berjiwa Koperasi.
Penggunaan dana PPK yang dikelola oleh UPK berfungsi sebagai modal untuk usaha produktif. Modal untuk usaha produktif ini berupa kredit yang diberikan pada masyarakat yang diharapkan dapat berputar terus di kelompok masyarakat. Strategi untuk memandirikan UKM dan industri kecil yang berjiwa koperasi adalah dengan membina, mempersiapkan, mengawasi, dan mendanai semua kegiatan yang dilakukan untuk menjadi besar dengan tetap berpedoman pada profesionalisme dan etika usaha.
Agar pemanfaatan dana bergulir dapat lebih dioptimalkan penggunaannya untuk pengembangan UKM dan industri kecil yang berjiwa koperasi ini maka perlu dilakukan pembinaan oleh dinas atau instansi terkait, yang meliputi ; bina teknis (Deperindag), bina keuangan (Deptkeu), bina program (Depdagri/Bappeda), bina pengawasan dan evaluasi (BPKP/BPS).
c. Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan Nasional.
Fleksibilitas dana yang dikelola oleh UPK melalui PPK dalam bentuk block grant memungkinkan untuk dapat menjangkau kegiatan ekonomi yang lebih luas. Dalam rangka mencapai tujuan ketahanan pangan maka dana bantuan tersebut dapat diwujudkan melalui modal usaha dan pembangunan sarana prasarana penunjang di sektor pertanian.
Pemberian pelayanan permodalan berupa pinjaman harus dapat ditempatkan dalam kerangka yang benar yaitu sebagai suatu injeksi atau suntikan sementara yang harus mampu menciptakan modal bagi kegiatan ekonomi masyarakat serta harus dapat meningkatkan produksi. Peningkatan produksi pertanian tersebut harus diikuti dengan meningkatnya pendapatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraannya. Surplus ini yang kemudian harus menciptakan tabungan sebagai awal dari pemupukan modal sendiri yang mampu dihimpun oleh masyarakat penerima pinjaman tersebut.
Melalui perencanaan yang sistematis, pembangunan pertanian diupayakan untuk makin menumbuhkan aspirasi masyarakat tani sebagai pelaku pembangunan. Berbagai bantuan yang ditujukan kepada masyarakat tani semata-mata dimaksudkan untuk menumbuhkan swadaya dan swakarsa masyarakat dalam pembangunan, dan bukan malah menimbulkan ketergantungan.
d. Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif Lainnya
Bantuan modal usaha yang dikelola melalui UPK menyediakan dana dengan jumlah yang bervariasi bagi setiap kelompok peminjam, tergantung dari jenis usaha yang diusulkan. Peran UPK ini sangat signifikan dalam mendukung kegiatan pengembangan sosial ekonomi masyarakat miskin. Masyarakat dapat mengembangkan usahanya yang produktif sesuai dengan potensi dan kemampuan masyarakat lokal.
Hal-hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam memperkuat UPK antara lain, yaitu ; pertama, kesamaan persepsi dari pengelola program/proyek pembangunan di semua tingkatan yang berhubungan dengan pemberian pinjaman kepada masyarakat miskin. Kedua, dengan persepsi yang sama diharapkan muncul kesepakatan untuk menyempurnakan sistem pelayanan dari UPK yang ada sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal. Ketiga, penyempurnaan sistem pelayanan merupakan bagian dari upaya memadukan dan mensinkronkan pola pembinaan terhadap lembaga yang ada. Penyempurnaan ini perlu diikuti dengan penyusunan panduan tentang UPK sebagai pedoman bagi aparat dan masyarakat. Keempat, seiring dengan penyusunan panduan adalah pembenahan dan penyegaran pengurus UPK yang sudah ada. Kelima, langkah-langkah tersebut sangat ditentukan oleh peran aktif dari semua steakholders di semua tingkatan, baik dari tingkat pusat maupun dari daerah itu sendiri dalam mendukung strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengoptimalan lembaga UPK.
KESIMPULAN
Pembangunan yang dipandang sebagai suatu proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam proses alokasi sumber-sumber ekonomi, proses distribusi manfaat, dan proses akumulasi yang membawa pada peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan. Perubahan yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan.
Dengan memahami pembangunan sebagai perubahan struktur, maka pemilihan strategi pembangunan yang tepat merupakan langkah awal yang baik untuk mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum atau masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pembangunan harus diarahkan pada upaya untuk memajukan harkat, martabat, kualitas, serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks itu berarti pembangunan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan manusia dalam melestarikan pembangunan secara mandiri.
Jadi ada semacam tuntutan bahwa paradigma pembangunan harus berpusat pada manusia (people-centered development) yang memandang manusia atau masyarakat sebagai pemeran utama pembangunan dan bukan hanya sebagai penerima. Salah satu kunci utama atas jaminan keberhasilan pembangunan adalah dengan memberi keleluasan pada masyarakat untuk menentukan kebutuhannya termasuk bagaimana memenuhi kebutuhannya itu. Sedang peran aparatur pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dalam pembangunan. Metode yang cukup relevan untuk mendukung
pendekatan di atas adalah dengan menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dalam setiap proses pembangunan yang akan dijalankan. Propenas sebagai salah satu acuan atau pedoman pelaksanaan pembangunan nasional secara tegas juga menghendaki terwujudnya pendekatan itu. Terbukti dalam salah satu misinya menghendaki terlaksananya pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Secara tersirat ada semacam keberpihakan dan komitmen kuat untuk mengembangkan ekonomi rakyat melalui strategi pemberdayaan masyarakat.
Pengendalian Propenas secara tidak langsung memunculkan suatu komitmen agar misi keberpihakan pada pengembangan ekonomi rakyat itu bukan hanya sekadar retorika tetapi secara konkrit muncul dalam Repeta dan tertuang dalam bentuk plafond anggaran dalam APBN kita. Pengembangan ekonomi rakyat ini sebenarnya sudah hampir menemukan bentuknya melalui pelaksanaan program nasional dimana didalamnya mengharuskan terbentuknya UPK di tiap kecamatan. Konsep awalnya UPK dibentuk sebagai institusi mediator bagi pelaksanaan program PPK. Tetapi secara substansi sebenarnya keberadaan lembaga ini dapat difungsikan lebih lanjut yaitu sebagai integrator bagi pelaksanaan program-program pembangunan yang bersifat sektoral maupun regional sehingga dimungkinkan adanya sinergis dari pelaksanaan multi program pemerintah yang dilaksanakan di suatu kecamatan.
Kita yakin bahwa program pembangunan akan berhasil bila ada keikutsertaan secara aktif dari masyarakatnya. Dan ini relatif tidak terlalu sulit untuk dijalankan bila kita secara konsisten percaya pada pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan bersedia berbuat apapun selama tujuannya transparan dan bermanfaat bagi mereka. Perlu disadari proses menuju tujuan yang hakiki dari pembangunan merupakan proses yang butuh perjuangan tak kenal henti dan tak kenal lelah dari setiap pihak yang terlibat dan berkepentingan. Keseriusan masyarakat dan keterlibatan yang intens dari aparatur pemerintah untuk melakukan transformasi sosial secara positif merupakan modal awal untuk lebih efektifnya pembangunan nasional yang sedang dan akan kita jalankan.