AGAMA BANGSA ARAB




Meskipun Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS telah meninggalkan warisan tauhid yang kuat, kemunculan Amru bin Luhay, yang dianggap sebagai ulama besar, membawa perubahan signifikan.

Fenomena terbesar dalam agama orang-orang Jahiliyah adalah klaim mereka sebagai pengikut agama Ibrahim, meski telah menyimpang jauh dari ajaran asli. Sebelum masa itu, agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah sudah terlebih dahulu masuk dan mempengaruhi masyarakat Arab.

Mayoritas bangsa Arab mengikuti dakwah Ismail, yaitu beliau menyeru kepada agama bapaknya, Ibrahim . Inti ajarannya menyembah kepada Allah, mengesakan-Nya dan memeluk agama-Nya. Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, mengeluarkan sedekah dan peka terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang disegani.
 
Suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab, menurutnya Syam adalah tempat para rasul dan Kitab. Karena itulah, dia pulang sambil membawa berhala Hubal dan meletakkannya di dalam Kabah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat kesyirikan terhadap Allah. Orang-orang Hijaz pada akhirnya banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Kabah dan penduduk Tanah Suci.

Peta Sebagian Berhala yang Disembah Bangsa Arab pada Masa Jahiliyah
 
Berhala mereka yang tertua adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi Laut Merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhay mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah.
 
Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing-masing. Dengan demikian, di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir bisa dipastikan ada berhalanya. Selain itu, mereka memenuhi Al-Masjid Al-Haram dengan berbagai macam berhala dan patung. Ketika Rasulullah menaklukkan Mekkah, di sekitar Kabah terdapat 360 berhala. Rasulullah menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua. Selanjutnya beliau memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.

Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang menjadi fenomena terbesar dari agama Orang-orang Jahiliyah, yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim. Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang mayoritas diciptakan oleh Amru bin Luhay. Orang-orang mengira apa yang diciptakan Amru itu merupakan sesuatu yang baru dan baik, serta tidak mengubah agama Ibrahim. Di antara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah:

  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya sambil berkomat-kamit di hadapannya. Mereka meminta pertolongan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan haji dan tawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
  3. Mereka mengadakan penyembahan dengan menyajikan berbagai macam korban, menyembelih hewan piaraan dan hewan korban demi berhala dan menyebut namanya. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya:  “Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (Al Maidah: 3)  “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya” (Al-An’am : 121).
  4. Bentuk peribadatan yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka. Ada juga Orang-orang tertentu yang mengkhususkan sebagian lain bagi Allah. Yang pasti, mereka mempunyai banyak sebab untuk memberikan sesaji kepada berhala yang tidak akan sampai kepada Allah. Apa yang mereka sajikan kepada Allah hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Allah berfirman: “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. (Al-An’am: 136).”
  5. Di antara jenis peribadatan yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala itu. Allah berfirman: “Dan mereka mengatakan: “Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang Kami kehendaki”, menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. (Al-An’am: 138).”
  6. Beberapa jenis unta yang dijuluki Bahirah, Sa’ibah, Washilah, dan Hami juga diperlakukan sedemikian rupa. Ibnu Ishaq mengisahkan, “Bahirah ialah anak Sa’ibah, unta betina yang telah beranak sepuluh, yang semuanya betina dan sama sekali tidak mempunyai anak jantan. Unta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, dan susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan harus mendapat perlakuan seperti induknya. Washilah adalah domba betina yang selalu melahirkan anak kembar betina selama lima kali secara berturut-turut, tidak diselingi kelahiran anak jantan sama sekali. Domba ini dijadikan sebagai perantara untuk peribadatan. Oleh karena itu mereka berkata, “Aku mendekatkan diri dengan domba ini.” Tetapi, bila setelah itu unta tersebut melahirkan anak jantan dan tidak ada yang mati, maka domba ini boleh disembelih dan dagingnya dimakan. Hami adalah unta jantan yang sudah membuntingi sepuluh betina yang melahirkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Unta seperti ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan apa pun, Untuk itu Allah menurunkan ayat: “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, washilah, dan ham, akan tetapi Orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti, “ (Al-Ma’idah: 103).

Allah juga menurunkan ayat:
 
Dan mereka mengatakan: “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,” dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. (Al-An’am: 139).
 
Namun, ada yang menafsirkan binatang ternak tersebut berbeda dengan yang telah disebutkan tadi.

Sa’id bin Al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. Di dalam Ash-Sahih disebutkan secara marfu’ bahwa Amru bin Luhay adalah orang pertama yang mempersembahkan unta untuk berhala.

Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat di sisi-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:
 
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3).
 
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula)
kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada Kami di sisi Allah.” (Yunus: 18).

rang-orang Arab juga mengundi nasib dengan menggunakan anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib tersebut diberi tiga tanda: anak panah pertama diberi tanda “Ya”, dan anak panah kedua diberi tanda “Tidak”, dan anak panah ketiga tidak diberi tanda apa-apa. Mereka mengundi nasib untuk memastikan pelaksanaan suatu keinginan atau rencana, seperti bepergian atau lain-lainnya dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar panah bertanda “Ya”, mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar panah bertanda “Tidak”, mereka menangguhkannya hingga tahun depan dan berbuat hal serupa sekali lagi. Bila yang keluar anak panah yang tidak diberi tanda, mereka mengulanginya lagi.
 
Selain tiga anak panah bertanda seperti itu, ada jenis lain lagi yang diberi tanda air dan tebusan. Ada juga anak panah bertanda “Dari golongan kalian” atau “Bukan dari golongan kalian” atau “Anak angkat.” Jika mereka memerkarakan nasab seseorang, mereka membawa orang itu ke hadapan Hubal, sambil membawa seratus hewan korban dan diserahkan kepada pengundi anak panah. Jika yang keluar tanda “Dari golongan kalian”, maka orang tersebut merupakan golongan mereka, dan jika yang keluar tanda “Bukan dari golongan kalian”, maka orang tersebut hanya sebagai rekan persekutuan, dan jika yang keluar tanda “Anak angkat”, maka orang tersebut tak ubahnya anak angkat, bukan termasuk dari golongan mereka dan juga tidak bisa didudukkan sebagai rekan persekutuan.

Perjudian dan undian tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Mereka membagi daging korban yang telah disembelih berdasarkan undian itu.
 
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, orang pintar dan ahli nujum. Peramal adalah orang yang mengabarkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. la mengaku bisa mengetahui rahasia gaib pada masa mendatang. Di antara peramal ini ada yang mengaku memiliki pengikut dari golongan jin yang memberinya suatu pengabaran. Di antara mereka mengaku bisa mengetahui hal-hal gaib lewat suatu pemahaman yang dimilikinya. Di antara mereka mengaku bisa mengetahui berbagai masalah lewat isyarat atau sebab yang memberinya petunjuk, dari perkataan, perbuatan atau keadaan orang yang bertanya kepadanya. Orang semacam ini disebut paranormal atau orang pintar. Ada pula yang mengaku bisa mengetahui orang yang kecurian dan tempat di mana dia kecurian serta orang tersesat dan lain-lain.

Selain peramal, ada ahli nujum. Yaitu orang yang memperhatikan keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Pembenaran terhadap pengabaran ahli nujum pada hakikatnya merupakan keyakinan terhadap bintang-bintang. Sedangkan keyakinan mereka terhadap bintang-bintang merupakan keyakinan terhadap hujan. Maka mereka berkata, “Hujan yang turun kepada kami berdasarkan bintang ini dan itu.”

Di kalangan mereka juga ada tradisi thiyarah, yakni pesimis terhadap sesuatu. Pada mulanya mereka mendatangkan seekor burung atau biri-biri, lalu melepasnya. Jika burung atau biri-biri itu pergi ke arah kanan, mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau biri-biri tersebut berjalan ke kiri, mereka mengurungkan niatnya untuk bepergian dan menganggapnya sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal di tengah perjalanan bila bertemu burung atau hewan tertentu.
 
Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut adalah kebiasaan mereka menggantungkan ruas tulang kelinci. Mereka juga meramal kesialan dengan sebagian hari, bulan, hewan atau wanita. Mereka percaya bahwa bila ada orang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram bila dendamnya tidak dibalaskan. Ruhnya bisa menjadi burung hantu yang beterbangan di padang pasir seraya berkata, “Berilah aku minum, berilah aku minum!” Jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruhnya menjadi tenteram.
 
Sekalipun masyarakat Arab sangat bodoh seperti itu, sisa-sisa agama Ibrahim tetap ada di kalangan mereka dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya. Seperti pengagungan terhadap Kabah, tawaf, haji, umrah, wukuf di Arafah dan Muzdalifah. Meskipun ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.

Di antara Orang-orang Quraisy, tetap ada yang mengatakan, “Kami adalah anak keturunan Ibrahim dan penduduk Tanah Suci, penguasa Kabah dan penghuni Mekkah. Tidak ada seorang pun dari bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami. Maka tidak layak bagi kami keluar dari Tanah Suci ini ke tempat lain.” Karena itu, mereka tidak melaksanakan wukuf di Arafah dan tidak ifadhah dari sana, tetapi ifadhah dari Muzdalifah. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat:
 
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya Orang-orang banyak (Arafah) (Al-Baqarah: 199).
 
Hal-hal baru lainnya, mereka berkata, “Tidak selayaknya bagi Orang-orang Quraisy untuk memberi makan keju dan meminta minyak samin ketika mereka sedang ihram. Mereka tidak boleh masuk Baitul Haram dengan mengenakan kain wol dan tidak boleh berteduh jika ingin berteduh kecuali di rumah-rumah pemimpin selama mereka sedang ihram. Mereka juga berkata, “Penduduk di luar Tanah Suci tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Suci ke Tanah Suci bila kedatangan mereka untuk haji atau umrah.”

Mereka juga menyuruh penduduk di luar Tanah Suci untuk tetap mengenakan ciri pakaiannya sebagai penduduk bukan Tanah Suci pada awal kedatangan mereka untuk melakukan tawaf awal. Jika tidak memiliki ciri pakaiannya sebagai penduduk luar Tanah Suci, mereka harus tawaf dalam keadaan telanjang. Ini berlaku untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita harus melepaskan semua pakaiannya, kecuali baju rumahnya yang longgar. Saat itu mereka berkata:
 
Hari ini tampak sebagian atau semuanya Apa yang tiada tampak tiada diperkenankannya.
 
Lalu Allah menurunkan ayat mengenai hal ini:
 
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. (Al-A’raf: 31).
 
Pakaian yang dikenakan penduduk luar Tanah Suci harus dibuang setelah melakukan tawaf awal, dan tak seorang pun boleh mengambilnya lagi, begitu pula orang yang bersangkutan.
 
Hal baru lainnya, mereka tidak memasuki rumah dari pintunya selama dalam keadaan ihram. Mereka membuat lubang di bagian belakang rumah, dan dari lobang itulah mereka keluar masuk rumahnya. Mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan yang baik. Namun, Al-Qur’an melarangnya (Al-Baqarah: 189).
 
Semua ritual keagamaan tersebut adalah kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala; keyakinan terhadap khayalan dan khurafat. Begitulah agama mayoritas bangsa Arab. Sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk ke dalam masyarakat Arab.

Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka berada di Jazirah Arab, yang setidak-tidaknya digambarkan dalam dua hal berikut ini:
 
  1. Kepindahan mereka pada masa penaklukan bangsa Babilon dan Asyur di Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap Orang-orang Yahudi, penghancuran negeri mereka dan pemusnahan mereka di tangan Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Di antara mereka banyak yang ditawan dan dibawa ke Babilonia. Sebagian di antara mereka juga ada yang meninggalkan Palestina dan pindah ke Hijaz. Mereka menempati Hijaz bagian utara.”
  2. Dimulai dari pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 M, yang disertai dengan tekanan terhadap Orang-orang Yahudi dan penghancuran haikal-haikal (kuil-kuil) mereka, sehingga kabilah-kabilah mereka berpindah ke Hijaz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’.’ Di sana mereka mendirikan perkampungan Yahudi dan benteng pertahanan. Maka agama Yahudi menyebar di sebagian masyarakat Arab melalui para imigran Yahudi tersebut. Mereka selanjutnya memiliki beberapa peran yang bisa dicatat dari beberapa peristiwa yang bersifat politis, sebelum munculnya Islam. Saat Islam datang, kabilah kabilah Yahudi yang terkenal adalah Yahudi Khaibar, Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa.’ As-Samhudi menyebutkan di dalam Wafa’ul Wafa hal. 116 bahwa jumlah kabilah Yahudi saat itu lebih dari dua puluh.

Agama Yahudi masuk ke Yaman karena dibawa oleh penjual jerami yang bernama As’ad Abu Karb. Awal mulanya dia pergi untuk berperang ke Yatsrib dan memeluk agama Yahudi di sana. Sepulangnya dari Yatsrib ke Yaman dia membawa dua pemuka Yahudi dari Bani Quraizhah, sehingga agama Yahudi menyebar di sana. Setelah As’ad meninggal dunia dan digantikan anaknya, Yusuf Dzu Nuwas, dia memerangi Orang-orang Kristen dari penduduk Najran dan memaksa mereka untuk masuk agama Yahudi. Karena mereka menolaknya, maka dia menggali parit dan membakar mereka di dalam parit itu. Tak seorang pun yang tersisa, laki-laki maupun wanita, tua maupun muda. Ada yang mengisahkan bahwa korban yang dibunuhnya mencapai 20-40 ribu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 523 M. Al-Qur’an telah memuat sebagian kisah ini di dalam surat Al-Buruj.

Sementara itu, agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui pendudukan Orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan Orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman pada tahun 340 M dan terus berlanjut hingga tahun 378 M.!? Pada masa itu misionaris Nasrani menyelusup ke berbagai tempat di Yaman. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang zuhud, yang doanya senantiasa dikabulkan dan memiliki karamah, datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Nasrani. Mereka melihat garis-garis kejujuran dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu, mereka memenuhi ajakannya untuk memeluk agama tersebut.
 
Setelah Orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk mengembalikan kondisi karena tindakan Dzu Nuwas dan Abrahah memegang kekuasaan di sana, maka agama Nasrani berkembang pesat dan sangat maju. Karena semangatnya dalam menyebarkan agama ini, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman, yang dinamakan Kabah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa Arab “berhaji” ke gereja ini dan hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Namun, Allah membinasakannya.
 
bangsa Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku-suku Ghassan, kabilah-kabilah Taghlib, Thayyi’, dan yang berdekatan dengan Orang-orang Romawi. Bahkan sebagian raja Hirah juga memeluk agama Nasrani.

Adapun agama Majusi, lebih banyak berkembang di kalangan bangsa Arab yang berdekatan dengan Orang-orang Persia. Agama ini juga pernah berkembang di kalangan Orang-orang Arab Irak, Bahrain, dan wilayah-wilayah di pesisir teluk Arab. Ada pula penduduk Yaman yang memeluk agama Majusi ketika bangsa Arab menduduki Yaman.
 
Sementara itu, agama Shabi’ah menurut beberapa kisah dan catatan berkembang di Irak dan lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrahim Kaldean. Banyak penduduk Syam dan Yaman pada masa dahulu yang memeluk agama ini. Setelah kedatangan beberapa agama baru, seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama Shabi’ah mulai kehilangan eksistensinya dan surut. Namun, sisa-sisa menganutnya tetap ada dan bercampur dengan penganut agama Majusi, atau yang berdampingan dengan mereka di pemukiman masyarakat Arab di Irak dan di pinggiran Teluk Arab.

Kondisi Kehidupan Agama
 
Seperti itulah agama-agama yang ada pada saat kedatangan Islam. Namun, agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, keadaannya sangat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi penyembah berhala (paganis), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas ke kehidupan sosial dan politik.
 
Adapun Orang-orang Yahudi telah menjelma sebagai Orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi persembahan selain Allah. Para pemimpin itulah yang memutuskan hukum di antara manusia dan mengorek-orek kesalahan mereka, bahkan Kondisi Kehidupan Agama.

Agama Nasrani sendiri berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukan antara Allah dan manusia. Kalau pun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, tidak ada pengaruh yang berarti, karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
 
Semua agama bangsa Arab pada waktu itu, keadaan para pemeluknya, sama dengan keadaan Orang-orang musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka hampir serupa.

Penjelasan lebih rincinya di Tarikh Ibnu Hisyam dan beberapa kitab lainnya.




Artikel Islam
Post a Comment
Top comments
Newest first
Table of Contents
Link copied successfully.