Kekuasaan di Jazirah Arab Sebelum Rasulullah SAW
Kekuasaan di Jazirah Arab sebelum Rasulullah saw mencerminkan hubungan rumit antar kabilah dan dominasi pemimpin yang otoriter. Rakyat sering terjebak dalam penindasan akibat kondisi politik yang lemah. Mari kita telusuri peran Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama, yang meskipun dihormati, tetap menghadapi berbagai tantangan yang mengganggu stabilitasnya
Kekuasaan di Seluruh Penjuru Arab Sebelumnya, kami telah menyebutkan kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan Adnan dan bahwa negeri Arab terpecah-pecah. Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah mengikuti raja di Hirah, dan yang berdekatan dengan Syam akan mengikuti raja Ghassan. Hanya saja subordinasi ini hanya sekedar nama, tidak dalam praktiknya. Karena faktanya daerah-daerah di Jazirah Arab mempunyai kebebasan secara mutlak.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesamaan fanatisme, adanya manfaat imbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar.
Kedudukan pemimpin kabilah di tengah kaumnya tak ubahnya kedudukan seorang raja. Anggota kabilah mengikuti apa pun pendapat pemimpinnya dalam persoalan damai maupun perang, tidak ada yang tercecer dari penanganannya, seperti apa pun keadaannya. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, layaknya seorang pemimpin diktator yang perkasa. Adakalanya, bila seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang akan ikut berbicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Peta Geopolitik Jazirah Arab Sebelum Islam Hanya saja persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin di antara keturunan paman, sering membuat mereka bersikap manis di mata orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, lemah lembut, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tidak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada di hadapan orang banyak. Apalagi para penyair yang pada masa itu memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah, hingga kedudukan para penyair sama dengan kedudukan Orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
Pemimpin kabilah mempunyai hak-hak istimewa. Dia mendapatkan seperempat bagian dari harta rampasan perang, harta rampasan yang diambil untuk dirinya sendiri sebelum ada pembagian, jarahan di tengah perjalanan sebelum tiba di kancah peperangan, dan kelebihan pembagian harta rampasan yang memang tidak bisa dibagi di antara para pasukan perang, seperti unta dan kuda.
Kondisi Politik Kami telah menjelaskan tentang para penguasa di Arab. Sekarang, kami akan menjelaskan secara ringkas tentang kondisi politik di kalangan mereka. Kondisi politik di tiga wilayah di sekitar Jazirah Arab merupakan politik yang lemah dan menurun, tidak ada lebihnya. Manusia bisa dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Para tuan, terutama tuan yang terhormat, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, sedangkan bawahan mereka dikenai segala macam upeti. Dengan istilah lain yang lebih jelas, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil lalu diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya dan mengumbar syahwat.
Sedangkan rakyat dengan kebutaannya semakin terpuruk dan mendapatkan kezaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka masih harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang hilang dan terabaikan. Sementara itu, kabilah-kabilah yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ini tak pernah merasa tenteram, karena mereka juga menjadi mangsa nafsu dan berbagai kepentingan. Karena itu, mereka kadang kala harus masuk wilayah Irak dan Syam. Kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama, sehingga salah seorang pemikir mereka berkata dalam syairnya. Aku hanyalah sesuatu yang dicari jika ketemu ketemulah ia dan jika tidak ketemu tidak ketemulah ia
Mereka tidak mempunyai seorang raja yang memberikan kemerdekaan, atau sandaran yang bisa dijadikan tempat kembali dan bisa diandalkan saat menghadapi kesulitan dan krisis. Adapun kekuasaan di Hijaz di mata bangsa Arab memiliki kehormatan tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama. Sebenarnya, kekuasaan itu merupakan campuran antara unsur keduniaan, pemerintahan dan agama, yang berlaku di kalangan bangsa, dengan istilah kepemimpinan agama. Mereka berkuasa di Tanah Suci dengan sifat sebagai kekuasaan yang mengurus para peziarah Kabah dan pelaksana syariat Nabi Ibrahim. Mereka mempunyai aturan tentang masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem parlemen pada zaman sekarang, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya. Sayangnya, kekuasaan ini sangat lemah dan tidak mampu mengemban beban, sebagaimana yang terjadi saat peperangan melawan Orang-orang Habasyah.